Lantai 16

1/8/11

#047: 1603

(via piccsy)


Ini malam tahun baru. Aku baru sadar setelah berdiri di balkon dan menyimak dua anak kecil di bawah sedang membeli terompet. Anak laki-laki dan perempuan. Si perempuan rambutnya dikepang. Si bocah laki rambutnya seperti Kobo-chan, bocah bertampang karikatur yang jeleknya minta ampun. Aku yakin anak itu ingusan.

Tampak olehku kedua anak itu menyerahkan uang lima ribu rupiah ke pedagang bertopi kumal. Pedagang itu kemudian pergi mendorong gerobaknya yang penuh terompet karton warna warni berumbai-rumbai. Kedua anak itu lari bergandengan tangan sambil berkali-kali meniup kencang terompet berbentuk ikan terbang itu. Setiap tiupan terompet si anak lelaki pasti membuat ingus kentalnya melompat, untuk kemudian kembali memeluk bibir atasnya. Mereka terlihat ceria.

Lalu aku melihat sebuah sedan hitam mengkilat berhenti di samping pohon, dekat gerbang utama apartemen ini. Supirnya tak terlihat karena kaca filmnya yang pekat. Sherry keluar dari pintu, berdiri di samping pintu supir, lalu melambaikan tangan kepada mobil yang berlalu itu. Tingkahnya mirip joki di Senayan. Tapi, dia ini joki cantik. Joki yang bisa bikin seribu mobil antri meminta Sherry menaiki mereka lalu membayarnya berjuta-juta.

Dengan langkah anggun, dia berjalan menuju lobi. Namun dia berhenti. Mendongak melihatku. Tersenyum. Aku salah tingkah. Sial. Dia kemudian hilang dari penglihatanku.

***

Sudah malam. Kira-kira pukul sepuluh. Aku lapar. Aku harus keluar membeli makan. Dan saat kubuka pintu, aku hampir saja melompat. Si hippies nyengir dengan gigi berlubangnya.

"Daun di tangan kananku, minum di tangan kiriku," dendang Kolabton, meniru lagu "Madu dan Racun". Aku nyengir jadinya.

"Sialan kau," kataku sambil mengambil botol di tangan kirinya.

"Daunnya nanti ya, pas buka tahun di atap apartemen," ujarnya. Aku tersenyum.

"Udah ah. Keluar dari kamar dong. Nonton aja di lobi lantai 16. Nyenyong-nyenyong kita."

Aku menurut. Terkejut. Semua penghuni lantai 16 berkumpul di tempat yang pernah ada kepala kambing itu.

"HALO, BENG. MARI MINUUUMM!!" teriak mereka berbarengan. Mirip serbuan ikan piranha. Aku pun takluk dimangsa, tertawa melihat keramaian yang langka ini.

Langa Beng Otanga
plot/ seri 03/ eps.005: TAHUN BARU

8/23/10

#046: 1603

Matahari di Minggu siang ini menggantung dengan angkuhnya. Sengat panasnya benar-benar menusuk sampai pori-pori. Dan kini di hadapan bangunan apartemen yang seperti raksasa yang melamun aku kembali hadir. Seguni.

***

Sudah setengah tahun kukira aku dua kali meninggalkan Apartemen Seguni. Pertama untuk melarikan diri dari hantu masa lalu, saat Zi berdarah-darah di RS Hermina dan di sana aku melihat sekeluarga aneh berwajah keluargaku. Sebenarnya pelarianku yang pertama itu ke Jakarta selama dua minggu hanya untuk, ya katakanlah, bertamasya, juga mencari inspirasi. Aku bertemu dengan kolega dan para kurator sekaligus mengunjungi beberapa tempat seni seperti Museum Seni Rupa dan Keramik di Kota Tua, Galeri Nasional, Taman Ismail Marzuki, dan lainnya yang tak mesti kusebut semua.

Seperti alay saja pamer-pamer tempat jalan-jalan. Wah aku menggunakan term alay?! Hahaha.. Apa pula itu alay.

Aku sempat kembali tapi hanya beberapa hari untuk sekedar mencium aroma kamar dan menyepi. Kemudian perlarian keduaku ialah pergi ke Yogyakarta untuk merampungkan lukisan untuk turut dalam pameran bertema "Anomali Tubuh" di mana aku bergabung dengan beberapa perupa di sana. Talenta seniman Yogya memang luar biasa. Kurator dalam helatan kali itu ialah Ucok alias Aminudin TH Siregar. Mungkin banyak orang bosan melihat kurasi yang kerap menampilkan nama itu atau Jim Supangkat. Tapi ya sudahlah. Toh dia pintar dan bayarannya bersahabat. Hehehe..

Empat dari lima gambarku laku terjual. Bayarannya juga cukup untuk menambah saldo di rekeningku. Tapi ada satu hal yang mengganjal. Dalam buku tamu, kulihat tulisan bernada ancaman: DASAR KAFIR! GAMBAR PORNO BUKAN SENI! LIHAT SAJA KALIAN NANTI!

Memang sih, entah aku pernah baca dimana, tulisan tidak mungkin mewakili ekspresi secara utuh, makanya ada emoticon. Tapi akan sangat aneh kalau tulisan tersebut diberi emoticon. Seperti lawakan jadinya. Tulisan itu cukup meresahkan kami. Ah, ya sudahlah paling cuma kerjaan orang iseng yang tak tahu seni.

Di samping itu, kota itu cukup damai untuk ditinggali meski ada berita tentang pembunuh misterius yang membunuh orang-orang yang ditemuinya di jalan secara serampangan. Pembunuhan tak berpola namun dengan gaya yang jelas-jelas meniru Jack The Ripper. Kebanyakan korbannya ialah mahasiswa. Sampai sekarang sudah belasan korban jiwa tercatat. Ciri khasnya ialah ada kepala kambing tergeletak di sisi mayat yang kepalanya dipancung.

***

Kubuka pintu apartemen itu. Televisi menayangkan siaran highlight sepakbola. Si penjaga lobi tak jelas wujudnya. Sofa di lobi dihuni udara kosong dan debu, mungkin juga hantu. Sepi. Langsung saja aku masuk lift lalu kutekan tombol 16.

"Ting tong.." Pintu lift terbuka.

Bau anyir darah. Semua kamar terlihat membisu. Jika ini kejutan ulang tahun ke-30-ku yang sudah lewat berbulan-bulan, benar-benar tidak lucu dan keterlaluan. Dipikir-pikir, darimana pula mereka tahu kalau aku ulang tahun?

Ada apa ini sebenarnya? Aku melongok perlahan. Ruang tamu lantai ini penuh darah bercipratan. Aku mendongak. Kepala kambing tergantung dan turut berputar sesuai arah kipas. Ada coretan aneh di tembok menggunakan darah: "SEKALI MASUK, TAK PERNAH BISA KELUAR".

Tulisan yang sama dengan di TKP Jack The Ripper abal-abal...

Langa Beng Otanga
plot/ seri 02/ eps.003: BIBIT PSIKOPAT DI KEBUN SINGKONG/ post: #011. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/08/042-1603.html

#045: 1600

Pejaman Saya terbuka perlahan, melihat kamar Saya yang sudah terang oleh lampu neon yang hemat energi itu. Orang lokal di sini biasa menyebutnya fhilifs. Jam raksasa belum bernama menunjukkan dengan paksa sudah pukul sepuluh malam.

Saatnya menghibur orang-orang di jalanan lagi. Heah dak! Saya tendang tembok agar ranjang gantung mengayun menjauhi tembok dan saya langsung lompat berdiri dan siap bekerja. Jedug Brak!! ternyata hanya Jackie Chan dan Jet Li yang bisa melakukan itu. Sebelum sempat lompat, ranjang itu keburu mengayun balik ke arah tembok dan beradu dengan kepala Saya.

“Santai woi lo kira pala gw pala kambing apa lo seruduk!!,” teriak saya pelan ngedumel sama tembok. Kemudian saya turun dari ranjang, tangan kiri memegang kepala yang sakit, tangan kanan mendorong pinggang ke depan. Kejadian barusan langsung mengingatkan saya pada kehebohan yang Jeko dan Prada bikin tadi pagi. Bukan tipe kehebohan yang biasanya Jeko bikin, memang melibatkan suara wanita juga tapi kali ini Jeko bicara soal kepala kambing dan komunitasnya, yang informasinya tidak bisa saya olah.

“Memang di jaman seperti ini komunitas sungguh beragam,” pikir Saya sambil membayangkan komunitas ini berkumpul membawa kepala kambing yang paling bagus masing-masingnya, atau mungkin anggotanya mirip kambing semua.

Saya ambil Ricardo yang tergeletak di lantai dan memasukkannya ke dalam kotaknya. “saatnya bekerja Ricardo,” ujar saya yang mungkin semangat. “Klontang…” suara kaleng semprot anti bakteri pengharum ruangan jatuh tersenggol kotak Ricardo.

“Sejak kapan Saya punya barang seperti ini? ”pikir Saya sambil Saya ambil semprotannya. “Semprotannya siapa ini ya?” Saya putar bodynya dan ada tulisan

"untuk kolabton sang inspirator prapatan. By: Mr. Becek"

oh rupanya salah satu barang dari fans ahahaa. Saya putuskan untuk memberikan semprotan ini ke Prada.

Melangkah keluar pintu yang selalu terbuka untuk siapapun dan sedikit termenung melihat pintu Zi, lanjut ke depan kamar Prada untuk memberikan semprotannya. Takut dia sedang tidur Saya taruh semprotan di depan kamarnya dibubuhi sedikit catatan.

“Malin ini ada semp.. Prada Ini ada semprotan bagus untuk menangkal aroma kambing yang bergentanyangan. – Kolabton & Ricardo”

Saya lanjut naik lift untuk turun, kemudian turun lift untuk keluar apartemen tanpa bertemu siapa-siapa. Sungguh sepi akhir-akhir ini. Sesepi hilangnya CJ bersamaan dengan lahirnya anak-anak Zi yang ramai.

Kolabton Nawalem
plot/ seri 02/ eps.005: TEROR/ post: #006. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/033-1600.html

8/11/10

#044: 1602

kupapah Prada kembali ke kamarnya, dua wanita yang kamarnya di sudut lantai berdiri dengan tatapan kosong, menyeruput rokok untuk mengusir cemas yang tak bisa disembunyikan raut wajah masing-masing. Kolab dan Ziantine memilih untuk kembali masuk kamar, entah menandas ranjang atau begitu takut atas kejadian aneh yang terjadi pagi ini.

“mana mungkin di lantai ini ada bekas anggota mereka Jek?” tanya Prada gemetar saat kubaringkan ia di tempat tidurnya. kutahu jelas, maksud Prada adalah organisasi massa Front Kepala Kambing, sekumpulan preman pembikin onar yang punya hobi sweeping. dengan peci bertanduk kambing, mereka berkedok membela hukum agama, tapi sejumlah media mengindikasikan mereka sebagai sekte pemuja setan dengan sesaji kepala kambing.

Prada jelas masih ingat mereka, tepat setahun lalu aku mengantarnya interview ke seorang perancang busana terkenal, ketika sekumpulan orang berpeci kepala kambing meringsek masuk ke rumah sang desainer, di mana kami berdua terjebak di dalamnya. mereka menganiaya desainer tersebut hingga babak belur. kami selamat karena ketika mereka datang, langsung ambil wudhu dan pura-pura sholat, peduli setan meski Prada menganut Nasrani, yang penting kami selamat.

massa yang menamakan Front Kepala Kambing tersebut menuduh sang desainer sebagai cikal bakal menjamurnya homoseksual di negara ini. organisasi massa yang didirikannya Koboi Brokbek menjadi rumah aspirasi yang kuat bagi kaum pecinta sesama jenis tersebut untuk berani tampil. kalau tak salah slogan Koboi Brokbek adalah ‘now we’re visible’. jadi ingat karena beberapa orang yang masuk ke rumah dan menganiaya perancang busana tersebut memakai baju bertuliskan, ‘visibel itu imposibel’. aku jelas, jadi sebel.

sampai sekarang aku tak pernah takut pada organisasi tersebut, bahkan setelah teror ini. tinggal pura-pura sholat saja, ah kejadian setahun lalu itu selalu aku ingat. kejadian penyerangan itu adalah awal dari serangkaian chaos yang dikreasi oleh ormas tersebut di seluruh penjuru negeri. sampai kini, baik pemerintah maupun polisi, seperti tak punya taring untuk mengembalikan mereka ke neraka.

para aktor intelektual ormas tersebut, menurut berita di sebuah media massa, terdiri dari beberapa orang yang saling menjaga rahasia. sekali masuk takkan pernah bisa keluar, persis seperti tulisan yang tertera di dinding lobi lantai. sistem kerja mereka seperti intelejen, tak pernah bertemu satu sama lain, tapi mampu mengolaborasi serangkaian chaos yang membuat banyak kaum minoritas di negeri ini pontang-panting ketakutan.

bila kau sering melihat ketua front tersebut seolah-olah yang paling bertanggung jawab atas serangkaian kerusuhan yang diciptakan anggotanya, kau salah. menurut temanku yang merupakan orang dalam media tersebut, aktor-aktor intelejen yang junlahnya tak lebih dari lima orang tersebut disebut-sebut memiliki kedudukan lebih tinggi dari sang ketua, bahkan konon lebih tinggi dari kepala polisi negeri ini.

“jadi wajar kalau polisi tak bisa berbuat apa-apa. konon para aktor intelektual ini percaya, kalau kerusuhan-kerusuhan kecil yang mereka cipta, adalah tumbal demi mencegah kerusuhan besar yang bisa menghancurkan negeri ini. terserah percaya atau tidak, setiap kali mereka melakukan sweeping akbar, seratus kambing dikurbankan, tapi tak ada yang pernah tahu, dagingnya mengalir ke komunitas fakir yang mana.” papar temanku itu yang seketika membuat bulu ridhoku berdiri.

aku pamit pada Prada dan kembali ke kamar, di luar Flo menungguku untuk bertanya, “apakah kejadian tadi tak perlu dilaporkan ke polisi?” aku menggelengkan kepala sambil menyeret langkah pulang ke kamar. di tengah sesal, ritual menonton FQ jadi gagal. aku berpikir-pikir, mengapa harus setelah Flo datang? atau, apa yang dilakukan Beng di luar kota? atau siapa ayah dari bayi-bayi yang baru dilahirkan Ziantine?

setiap pertanyaan biasa menjadi rasa penasaran yang luar biasa. mereka yang telah kukenal, bukan orang yang benar-benar kukenal, kecurigaan ini, meminta izin untuk menghinggapi cara pandangku terhadap kelima tetanggaku. mungkin juga pada mereka, termasuk terhadapku.

Rasuna Adikara
plot/ seri 02/ eps.005: TEROR/ post: #007. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/08/043-1602.html

#043: 1602

minggu pagi yang cerah ini, harusnya jadi awal dari rangkaian hari yang indah. dengan menampan sepiring waffle dan menjinjing sekotak susu cair, hendak ke lobi, untuk pelototi acara masak ala-ala chef FQ.

ritual pagi masih menjadi gerbang hari yang indah, sebelum kudengar seorang memekik. jerit wanita, milik Prada. jelas kukenali karena lolong itu identik dengan lenguhnya saat kami saling mencicip, beberapa bulan lalu. yang beda, ini jerit ketakutan. suara yang berasal dari depan kamarnya kukira, dengan cepat mengudara ke antero lantai.

pas sekali, aku hendak keluar dan nonton FQ, kupercepat langkah dan dengan sigap membuka kenop pintu yang tak pernah tergantung kunci di lubangnya. kulihat, Prada terduduk lemas di depan dinding kamarnya, menghadap ke lobi lantai tempat ku biasa menonton acara masak favoritku saban minggu.

di lobi lantai itu, kini, dindingnya memerah seperti kena cipratan darah, dan sepenggal kepala kambing digantung terbalik tepat di atas lantai yang digurat gambar bintang dengan lima lilin tertancap di lima titiknya.

terbaca dengan jelas, di sela dinding yang telah berlumuran cat merah serupa darah, sebuah kalimat yang ditulis dengan piloks hitam: ‘SEKALI MASUK, TAK PERNAH BISA KELUAR’. jelas ini bukan peringatan untuk orang yang hendak bercinta.

kepala kambing yang digantung terbalik, bintang segi lima, lilin yang dibiarkan menyala. jelas ini teror, kepada siapa? entahlah. yang pasti terakhir kali membaca berita tentang teror seperti ini, korban ditemukan beberapa minggu kemudian tewas dalam keadaan mengenaskan.

*

dengan dalih mengecek fungsi alat-alat yang ada di sekitar TKP, aku mengambil remota dan menyetel TV, bukan kebetulan bila ketika nyala, FQ ada di layar kaca, aku memindahkannya ketika peralihan dari gelap ke terang saat TV dihidupkan. yang kebetulan itu, FQ minggu ini memasak iga kambing.

tak ada yang rusak, lampu kipas yang digunakan untuk menggantung kepala kambing pun masih berfungsi. lucu ketika melihat kepala kambing tersebut berputar mengelilingi lilin-lilin yang tinggal beberapa senti di atas karpet yang telah dilubangi. ya, hanya karpet itu yang rusak.

logikanya jelas, mereka butuh ubin kayu untuk menggurat bintang lima, dan menyalakan lilin di atasnya. tak aneh kalau tak ada yang rusak, lagipula ini bukan kasus pencurian, ini teror.
satu persatu penghuni lantai keluar kamar, tapi tak ada yang berani mendekati lobi. Kolab muncul dengan mata segaris, jelas ini masih jam tidurnya, Ziantine juga setelah melahirkan anak kembarnya jadi malas bangun pagi. sementara Sherry keluar dengan mengenakan lingerie tipis dan sisir tersangkut di rambutnya yang semrawut.

Flo, penghuni baru di apartemen ini menghardik, “Jeko, jangan sentuh apapun sebelum polisi datang.” aku yang seperempat kaget, menoleh ke arahnya, di tangan kanan menampan sepiring waffle, di tangan kiri menjinjing kotak susu yang sudah tak begitu dingin, “di sini, lebih baik tidak percaya Tuhan daripada percaya polisi!”

woo, aku mengagumi diri sendiri atas ucapanku barusan. ah, andai FQ bisa melihatku dari balik layar kaca. sementara si kepala kambing yang digantung terbalik kini posisinya menghadap televisi, juga menonton FQ. aku membayangkan ia berkata, “oh mungkin yang dipasaknya kini, dulu adalah tulang rusukku. tapi tunggu sebentar, apa itu di balik ketat kaosnya, seratus pasang buah zakar kambing remaja. koki gila.”

pagi yang gila juga bagi seluruh penghuni lantai 16 l’appartemant. eh, tapi mana Beng? astaga, jangan-jangan ini bukan sekadar ancaman, melainkan penculikan.

Rasuna Adikara
plot/ seri 02/ eps.005: TEROR/ post: #006. prev post: -

8/10/10

#042: 1603

via -guiltypleasure


Aku tak tahu apa yang terjadi pada Zi selanjutnya. Sejak kejadian kemarin. Aku memutuskan pergi ke Jakarta untuk jalan-jalan saja. Benar-benar ingin hilang dari peredaran. Memangnya aku pernah beredar? Ada dan tidak toh sama saja, bukan?

*

Setelah sejenak membenahi pakaian dan tetek bengek untuk seminggu di Jakarta, aku menatap kamarku. Di sudut kamarku, antara dapur dan ruang tengah, hinggap seekor kupu-kupu gajah. Darimana mahluk itu datang?

Mata di sayapnya menghipnotisku. Dan lagi-lagi, mahluk itu mengingatkan aku pada sesuatu dari masa lalu. Tapi aku tidak bisa mengingatnya, meski sudah berapa kali kepala ini aku geleng-gelengkan. Tampaknya mesti kujedoti ke tembok baru bisa, tapi yang kulakukan malah membenturkan kepala ke sofa. Mata di sayap itu tetap menatap tajam. Mirip mata Hera di serial Hercules.

Selayang pandang memindai kamar. Bersih. Yang jelas, harus bebas kecoak dan baunya yang santer menendang indera pernapasan. Aku suka meninggalkan tempat tinggalku dalam keadaan rapih. Aku paling bingung dengan orang-orang yang jorok. Abu rokok, puntung, piring- sendok-gelas yang berceceran. Seperti bermain frisbee tapi dengan diri sendiri, terus kelelahan dan membiarkan semuanya sampai waktu yang tidak ditentukan. Hebatnya orang-orang ini bisa bertahan tidur bersama semua sampah itu. Ckckck...

Semua sudah terkunci. Jam dinding menunjukkan pukul 9 pagi. Aku keluar. Di ujung kamar itu, si anak baru keluar dari kamarnya dan masih mengenakan pakaian tidur, menguap, merenggangkan badan, lantas tersenyum. Aku mengangguk seadanya kemudian melayap keluar.

*

Travel. Moda transportasi ekslusif yang sedang menjamur di Bandung. Aku tidak menolak kenikmatan dari menaiki mobil semi pribadi ini. Hening. Setiap orang dalam mobil ini saling cuek. Saat mesin mobil menderu, earphone sudah melakukan pemanasan untuk dicolok ke kuping. Semua orang mendengarkan lagu dari alat elektronik mini yang mereka pegang masing-masing. Aku lebih memilih untuk membaca salah satu novel kesukaanku, "Orang-orang Bloomington" karya Budi Darma.

Senter kecilku menerangi buku yang kupegang erat dan terus bergoyang-goyang seirama dengan langkah mobil. Aku di tengah dan orang di samping kiri dan kanan melihatku dengan tatapan aneh. Aku melhatnya dari sudut mata. Saat aku menoleh, mereka langsung memalingkan muka.

Orang-orang selalu mau tahu urusan orang lain. Tapi Yuri beda.

Dia selalu ingin tahu dengan caranya yang otentik. Pertama kali bertemu dengannya di masa kuliah. Dia jurusan Geologi. Macho, kan? Dia lebih muda tiga tahun dariku. Persis seperti saran bapak dulu, "Carilah perempuan lebih muda tiga-lima tahun darimu. Itu jarak usia yang pantas pasanganmu nanti." Bapak yang kumaksud bukan yang di rumah, tapi pengadopsiku, pak walikota.

Aku dulu sering duduk di sebuah pohon, dekat aula barat ITB. Melihat orang-orang bermain basket dari kejauhan atau baca buku atau menggambar. Aku selalu senang melihat orang bermain basket atau olahraga apapun. Menurutku mereka hebat bisa melatih badannya dan jungkir balik dalam olahraga. Jiwa mereka pun kompetitif. Tidak sepertiku yang lebih memilih menyendiri dan sesekali merokok untuk mengisi sunyi. Terkadang asap rokok terlihat membentuk tubuhnya sendiri dan menari-nari. Hanya hal sepele seperti itu yang menghiburku.

Suatu hari, di tahun keempatku di kampus, saat duduk di spot favorit, aku melihat seorang perempuan bermain basket dengan teman-temannya. Gaya mainnya tidak grasak-grusuk seperti perempuan lainnya. Dia elegan. Tubuhnya dalam kostum basket, keringat itu, wajah yang terlihat bersemangat itu. Semuanya paduan yang sempurna. Entah bagaimana, mata kami bertemu. Dia tidak segera memalingkan wajahnya, dan entah bagaimana juga aku sempat bertahan lama melihatnya. Biasanya tiga detik saja bertatapan dengan perempuan aku sudah kalah. Mukaku serasa lepas dalam momen seperti itu, tapi tidak terhadapnya.

Lama-lama aku tahu jadwal bermainnya, tapi aku cuma berani melihatnya dari jauh. Sembari sembunyi di balik buku atau sketsa. Tiba-tiba pada suatu sore, buku yang kubaca ditarikseseorang. Yuri. Aku gugup tapi tidak bertahan lama.

"Ini buku bagus ya? Tentang apa sih? Kayaknya kamu sering baca di sini apalagi sambil pasang tampang serius," ujar Yuri berturutan. Aku beritahu padanya tentang jeroan buku itu dan pengarangnya. Dia manggut-manggut pura-pura terlihat tahu tapi tetap pasang tampang tertarik. Susah dijelaskan. Itulah awal perkenalanku dengan Yuri. Selanjutnya kami lebih sering bertemu.

Semakin jauh mengenal Yuri, aku tahu bahwa dia itu tidak pernah membaca apapun selain materi perkuliahan. Orang-orang pragmatis dan terlalu lurus. Kuliah, belajar, nilai bagus, lulus ingin kerja di perusahaan besar, hidup makmur, punya anak, tua, mati. Seperti itu. Kesamaan kami hanya satu: jorok alias jomblo sejak orok. Aku syok pertama kali mendengar itu. Dari gayanya tidak mungkin anak itu tak pernah pacaran. Dia mengaku sering menolak laki-laki yang mendekatinya. "Sejak SD sampai sekarang," katanya waktu itu. Yuri tak mau hubungan coba-coba, apalagi tidak kenal lalu bisa jadi pasangan. "Abege betul!" repetnya. Aku cuma tertawa kecil.

***

Perutku berontak. Lapar. Pun tidak bisa seenaknya bilang "Kiri, Pak" lalu turun dan beli cemilan di area istirahat AC di mobil ini pun dingin. Semua semakin menekan lambung plus membuatku flu. Ditambah aku sering begadang dan tidur pun tidak pernah tuntas karena mimpi-mimpi aneh belakangan ini.


"HATCHIIMM!!"

Benda hijau cair sebesar kelereng melompat mulus dari rongga antara hidung dan mulutku dan dia mendarat tepat entah dimana. Orang-orang yang sebelumnya kaget karena bersinku, malah jadi jijik setelah, aku rasa, melihat ingusku yang sebesar kelereng gigantisme terbang bak superman menolong Louis Lane.

Berhubung aku masih baca buku dan pegang senter, pura-pura saja baca buku. Di sudut mata, aku melihat ingusku di lantai mobil dekat kaki kananku. Ya pura-pura saja gesek-gesek. Malu. Sial...

Langa Beng Otanga
plot/ seri 02/ eps.003: BIBIT PSIKOPAT DI KEBUN SINGKONG/ post: #010. prev post: -

INTERMEZZO : ZETLAMAT DATANG KEMBALI!

samlekum, lama tak bersua, setelah semua bermuara di persalinan Ziantine, kisah season pertama berakhir dengan suka. tapi masih ada kunci-kunci misteri yang belum terbuka. masih ada karakter-karakter yang belum kita selami lautnya, belum kita daki gunungnya. petualangan kita masih panjang, maka saya mengucapkan kembali selamat datang.

di l'appartemant 16 season 2 (baca: season ramadhan). siapkan kolak, mari menulis dan bergolak. ramadhan tak membuat kita puasa kata. mari isi sahur dengan fiksi-fiksi yang menghibur. tukang tambal ban gak boleh dandhan, marhaban ya ramadhan.

7/21/10

#041: 1606

Kedatanganku ke rumah sakit ini bukan disengaja. Aku tak kenal dekat dengan calon Ibu itu. Baru sebatas tahu nama, dari perkenalan singkat kami di depan pintu 1602. Bahkan dengan dengan penghuni lainnya pun aku belum sempat menyapa satu-persatu . Penghuni pertama yang berinteraksi denganku adalah Sherry, perempuan bertubuh seksi dengan rambut coklat keemasan itu, saat aku nyaris hipotermia. Dan kemarin, aku berkenalan dan ngobrol panjang lebar dengan Rasuna. Hmm siapa itu nama panggilannya, aku lupa. Oya, Jeko. Sisanya, aku belum sempat bertemu atau bertegur sapa. Namun, kejadian seperti ini – bencana alam, kecelakaan di jalan raya, bahkan kecopetan pun – sering membuat kita mengabaikan hubungan personal dengan orang yang mengalaminya. Hubungan yang terjadi hanya satu: sebagai sesama manusia, yang masih punya rasa iba. Mahluk sosial.

Aku tahu bahwa Ziantine masuk rumah sakit saat seorang perempuan (lagi-lagi) cantik dan modis tak sengaja berpapasan denganku di tangga. Saat itu aku hendak naik ke lantai 16 sehabis membeli beberapa perabotan untuk di ruang baruku itu. Perempuan itu tergopoh-gopoh menuruni tangga, tubuhnya sempat menyenggol bahu kananku. Dan walhasil, membuat barang-barang yang ku bopong jatuh berhamburan di lantai.

“Maaf aku buru-buru,” ujarnya. Aku tersenyum. “Tak masalah,” ujarku singkat.
“Sebentar!” suaranya tiba-tiba menghentikan kegiatanku yang sedang memungut ember, gayung, bantal, dan peralatan rumah tangga lainnya.
“Ya, ada apa?”
“Kau penghuni baru di lantai 16 ya? Tetangga kita, Ziantine, si ibu hamil, masuk rumah sakit, katanya kritis, pendarahan. Oya dia di Rumah Sakit Hermina. Kau datang saja nanti ke UGD atau ke costumer servicenya. Aku tak tahu ia di rawat di bagian mana. Kau mau ikut ke sana?” Perempuan itu bicara dengan cepat dan detil.

“Ya. Ah tapi silakan kau duluan, aku nanti menyusul dengan taksi. Aku perlu taruh barang-barang ini ke kamarku dulu,”
“Okay, see u there,” ia melambaikan tangan.

*

Sayang, aku tak bisa membantu apa-apa. Ingin mengirimi Zi doa, tapi aku tak tahu harus memajatkan doa kepada siapa? Teringat perbincangan dengan temanku, saat diriku mulai masuk fase meragukan Tuhan.

“Lantas, jika aku putus asa dan aku tak bisa berbuat apa-apa, aku harus berdoa kepada siapa?”. Temanku hanya menjawab, doa itu sebagai bentuk pengharapan, kamu meletakkan harapan itu dan membiarkan harapan itu berjalan dengan sendirinya. Atau jika kamu menganggap doa adalah bagian dari spiritual, kau percayakan saja harapanmu itu mengalir melalui energi yang tak kasat mata, energi di luar kendalimu.

Ahh, sudahlah, pikiran flashback ini akan tambah membuat ku terdiam semakin lama. Setidaknya, kali ini aku menaruh doaku, harapanku kepada faktor eksternal dan internal di luar diriku. Yaitu, energi alam raya yang tak kasat mata dan dokter yang sedang melakukan operasi itu. Doaku, biarkan calon ibu itu selamat, biarkan dia tetap hidup, meski harus menelan pil pahit seumur hidupnya: kehilangan anaknya yang belum sempat ia timang.

Aku menghampiri Jeko. Mata dan hidungnya memerah, bekas menangis. Ahh ternyata pria ini punya empati yang luar biasa. Di samping Jeko, berdiri dua orang pria – yang aku tak tahu namanya itu – berusaha menenangkan Jeko. Tak jauh dari mereka, berada perempuan yang memberi tahu ku kabar buruk yang dialami Ziantine.

Di sela menunggu kabar terakhir Ziantine, perempuan itu tampak sibuk berkutat dengan notebooknya. Jemarinya menari lihai di atas tombol-tombol huruf notebook itu. Hmmhh tampaknya ia perempuan yang punya kerjaan padat, pikirku.

Meski kami belum mengenal satu sama lain, tapi aku yakin perasaan kami saat ini sama. Sama-sama mengharap agar Ziantine, selamat. Meski aku belum lihat satu batang hidung keluarga Ziantine atau suaminya, tapi aku merasa energi harapan di antara kami – para penghuni appartemant – cukup besar untuk keselamatan Zi.

Florisia Rainarki
plot/ seri 01/ eps.004: SI CALON JANIN/ post: #005. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/029-1606.html

7/19/10

#040: 1605

in this story: Kolabton Nawalem, Ziantine Larasati


Aku terduduk lemah. Akhirnya aku berhasil menyelamatkan Zi dan ketiga anak kembar yang di kandungnya meskipun mereka, baik ibu maupun anak-anak, sangat lemah dan sangat butuh perhatian intensif. Aku hanya bisa memandangi kedua jemari tanganku yang bersih dan steril. Sarung tangan karet sudah tidak berada di sana lagi. Aku yang masih berpakaian atribut operasi lengkap hanya bisa terdiam.


Ah, aku kembali ke dunia ini. Dunia semuku. Kalau bukan karena desakan dari Kolabton _itu nama seniman nyentrik yang aku ajak bicara tempo hari dan, dan, dan telpon darinya. Ayahku.


*


.Sehari sebelumnya.


"Jadi begitu, menurutmu, aku datang gak ya ke kawinan Eibi?" aku menodong pertanyaan kunci, setelah menceritakan masalahku, mengapa bisa jadi rumit, menurutku, dari awal hingga sekarang kepada Kolabton yang masih asik memetik-metik senar gitarnya. Sesekali ia berhenti sebentar, seperti memikirkan sesuatu, lalu mulai memetik gitar lagi. Aku tidak tahu apakah dia mendengarkan semua ceritaku, aku tidak peduli, Aku hanya ingin menumpahkan segala yang ada dipikiranku, yang sudah terlalu penuh, hingga mampat, bumpat.


Kolab menyeruput kaleng birnya hingga bir itu habis, meremas kaleng itu, kemudian melemparnya entah kemana. Sraak! Oh, rupanya masuk ke tempat sampah yang berupa plastik hitam besar sekitar 2 meter didepannya.


"Permisi," sapa sebuah suara dari pintu "Oh kamu di sini juga, Sher?" katanya lagi. Aku menoleh.


"Eh, Prada. Iya nih, lagi cerita-cerita aja sama Kolab. Tadinya mau cerita ke kamu, tapi kamunya belum pulang tampaknya," jawabku. Aku kembali meneruput kaleng birku yang isinya sudah mau habis.


"Oh, tadi ke rumah sakit,"


"Iya si Kolab ini juga baru cerita. Semoga Zi baik-baik saja ya." kataku sambil menoleh ke tempat Kolab bersemayam. Kolab masih saja memetik-metik senar gitarnya.


"Kolab, ini kameramu. Terima kasih banyak ya," kata Prada seraya menaruh tas yang berukuran sedang di atas meja pantry.


"Sip. Sama-sama. Kalau perlu apa-apa lagi. Tinggal kesini aja. Ga usah ragu-ragu lah," ujar Kolab kemudian.


"Oke. Aku ke kamar ya. Sher, aku ke kamar ya. Kamu kalau ada apa-apa, ke kamar aja. Oke?" kata Prada kepadaku, "Oh! hampir lupa! Kamu sudah baca artikel-artikelku?"


"Belum semuanya. Tadi baru sekilas-sekilas saja. Terima kasih ya! Pasti aku baca," jawabku lagi. Pradapun berlalu. Suasana pun hening kembali. Tadi suasana cukup ramai dengan kedatangan Prada, soalnya dari tadi hanya aku saja yang bicara. Tapi aku lebih suka seperti itu.


"Gak usah datang saja," kata Kolab tiba-tiba. Aku sampai kaget. "Kamu bilang tadi kamu apa?" tanyanya kemudian.


"Apa?" aku tidak mengerti.


"Profesimu, kamu bilang tadi profesimu apa?" tanyanya lagi.


"Oh.. emm.. Dokter. Aku dokter bedah. Tapi aku tidak suka pekerjaan itu," kataku.


"Tolong CJ, gimana?" ujar dia, masih santai.


"Apa itu CJ?" aku benar-benar tidak mengerti. Orang ini memang susah dimengerti. BIcara dengan bahasanya sendiri. Seru sekali.


"CJ, anak yang ada di dalam kandungan Zi, aku punya firasat, operasi nanti akan gagal, dan aku punya firasat, kamu yang bisa menolongnya," katanya lagi. Kali ini dia pindah duduk ke tempat tidur gantungnya.


"Ah, aku sudah hampir 6 bulan tidak pegang pasien, bisa bahaya, lagi pula, kadar alkohol dalam darahku sangat tinggi, bisa sangat beresiko kala sewaktu2 aku terkena serangan jantung," pungkasku asal. Soal alkohol aku serius.


trrrrrrrrrrrt… trrrrrrrrrrrrt..


Ponsel dikantong celana pendekku bergetar. Pada layarnya tertera nomor tidak di kenal. Aku paling malas menjawab telpon tidak di kenal. Maka aku reject saja. Baru aku mau bicara membela diri dan menanyakan mengapa dia menyuruh aku untuk tidak datang ke perkawinan Eibi ponselku kembali bergetar. Masih nomer yang sama. Ku reject lagi. Bergetar lagi. Ku reject lagi. Yang kesekian kalinya rupanya ada nama di layar ponselku. Namanya: Ayah.


"Ayah?" tanyaku pelan-pelan ketika menangkat telpon itu. Aku takut disembur api yang keluar dari mulut Ayah, meskipun aku tahu, api itu tidak akan keluar lewat speaker ponseku, api tidak merambat dari sinyal telepon. Tapi aku tetap saja takut.


"Bi, ini ayah.." kata suara diseberang sana. Masih seperti terahir aku bicara padanya, suara berat, akibat pengaruh nikotin yang ia hisap dari ia kecil, dan sedikit pengaruh alkohol yang sering dia minum dulu, sekarang sudah tidak. Dia memanggilku dengan Bi, nama kesayangannya, diambil dari namaku yang lain, selain Sherry, tapi aku lebih suka namaku Sherry saja.


"Ya, ayah. Ada apa ayah tiba-tiba menelepon? Ayah sehat-sehat?" tanyaku sesopan mungkin.


"Ayah ingin minta sesuatu sama kamu, Bi. Kamu bisa ke kantor ayah kan? Sekarang. Ayah dengar dari mamamu, kamu di Bandung," kata ayah. Tanpa menanyai kabarku, sehat atau tidak, apa yang sedang aku risaukan, ah, ayah.


"I..iya Ayah aku di Bandung, tapi, kenapa mendadak?" aku tidak tahu mengapa aku tidak pernah bisa berbohong kepada ayah. Kolabton meperhatikanku, mungkin dia heran melihat perubahan mimik mukaku, seperti orang habis menginjak kotoran.


"Ayah tunggu," kemudian ayah menutup telpon. Begitu saja. Ayah, masih seperti dulu. Keras. Dan aku juga masih saja seperti yang dulu. Tidak bisa membantah ayah. Satu-satunya yang pernah aku lakukan adalah berhenti bekerja dan kabur ke Bandung. Bodohnya aku, ayahku kan juga bekerja di salah satu rumah sakit di Bandung. Fuk.


Aku bengong, kemudian balik memandang Kolab, dan Kolab sudah terseyum, memandangku. Ah?



*


Anak buah ayah gagal operasi pasiennya. Ayah, dokter ahli bedah terkenal dan sangat disegani Ikatan Doker Bedah di Indonesia sudah pensiun beberapa tahun yang lalu, ia sudah terlalu tua untuk mengoperasi orang, paling ayah ikut rapat dan diskusi penanganan kasus suatu pasien. Kali ini, anak kesayangan Ayah, Willy, yang juga sepupuku ternyata gagal mengoperasi seorang wanita yang terkena trauma pada rahimnya, dan ia sedang hamil 18 minggu.


Dari dulu ayah selalu membanggakan Willy. Willy lebih tua 3 tahun dariku, dia seorang dokter bedah yang cukup baik, prestasi di sekolah maupun ditempatkuliah sangat membanggakan, sama seperti ayah waktu muda. Aku, yang juga seorang dokter bedah, prestasiku biasa-biasa saja, susah payah aku mengejar gelar itu. Aku tidak tahu apakah ayah bangga padaku atau tidak. Beliau hanya diam mengetahui prestasiku yang biasa-biasa saja. Waktu aku mengikuti upacara sumpah dokter, ayah tidak hadir.


Sekarang ayah mengutus aku untuk menggantikan Willy. Susah payah aku membujuk ayah, bilang kalau aku sudah lama tidak pegang pasien, dan lain-lain. Ayah tetap pada pendiriannya.



*


Aku masih memandangi jemari dan tanganku. Aku juga masih duduk di kursi panjang di ruang tunggu depan kamar operasi. Kugerak-kegerakan jemari-jemariku. Pintu ruang operasi terbuka, kulihat ayah keluar dengan mengenakan baju operasi sama sepertiku. Ayah mendekatiku. Kemudian ayah menepuk pelan punggungku. Sepersekian detik aku merasa lewat senduhan itu ada cairan gaib yang menjalar dari punggung hungga ujung jari tangan dan kakiku. Dalam diam ia berlalu dan pergi meninggalkanku.


Aku memandangi punggung ayah, punggung yang dulu aku lihat sangat tegap, kuat, kini sudah tidak lagi. Punggung itu lelah, dan jengah. Dan pipiku pun menghangat.


Sherry
plot/ seri 01/ eps.002: SHERRY/ post: #005. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/in-this-story-kolabton-nawalem-aku.html

#039: 1604

in this story: Kolabton Nawalem, Sherry.

*Plop*
Mendadak ada sms masuk ke blackberryku. Pesan singkat dari atasanku. Prada, besok temani saya meeting ya! Ada penawaran dari klien baru. Saya tunggu di Patra Jasa pukul 9 pagi. Bisa dibilang saya termasuk anak emas Bos Ratu. Begitu kami memanggil Pemimpin Redaksi kami. Tidak ada yang bisa menolak permintaannya, bahkan dia terkesan tidak pernah meminta, semua diputuskan olehnya. Kadang menyebalkan, namun apa mau dikata, toh dia atasanku.

Sebagai "anak emas" Bos Ratu, aku selalu diberikan privilege lebih di antara teman-teman sekantor. Kadang aku bisa memutuskan sendiri apa yang mau kuliput, bahkan pernah beberapa kali aku yang menetapkan isu untuk satu edisi.

Baik, bu. Selamat malam. *SMS sent*

Kulirik orang-orang sebelahku, terlihat sekali mereka gelisah, terlebih lagi Jeko. Sudah terlalu malam. Aku harus pulang. "Aku pulang duluan ya? Besok ada meeting pagi, aku tidak boleh telat untuk hal ini. Jeko, kamu baik-baik saja kan? Tenang, Zi pasti baik-baik saja," ujarku sambil tersenyum pada Jeko. Jeko masih belum banyak bicara. Hanya enam patah kata. "Iya, kamu hati-hati di jalan," ujar Jeko.

Setelah pamit kepada semua orang yang masih menemani Jeko, aku pun beranjak ke arah pintu keluar. Tiba-tiba. "Prada!" Ada yang memanggilku. Oh ternyata si hippies. "Ya?" "Aku juga mau pulang, biasa jadwal ngamenku sebentar lagi. Tenang, si Jon sudah kubayar untuk menemani Jeko takut mendadak perlu apa-apa," imbuh si hippies alias Kolab. Itu nama aslinya. "Baiklah," ujarku sambil tersenyum. Dan kami pun meninggalkan Hermina menuju Seguni.

Kami memutuskan untuk naik taksi. Beruntung ada taksi yang baru saja menurunkan penumpang di lobi. Segera kami stop untuk ditumpangi.

"Oh iya, maaf yaa kameranya belum dikembalikan. Masih belum saya transfer foto-fotonya ke laptop saya," ujarku memecah keheningan taksi ini.
"Ohh iya ga papa, lagipula kan saya sudah bilang, saya punya banyak kamera. Jadi kalau cuma satu yang dipinjam sih ga masalah. Kalau semuanya baru, sayanya kelabakan. Hahahahaha," si hippies ternyata periang. Bisa kunilai dari gelak tawanya yang begitu lepas. "Jadi, bagaimana Solo?"
"Solo menyenangkan. Pekerjaan di sana lancar, thanks to your camera," ujarku sambil tersenyum.
"Hahahaha, sama-sama. Senang bisa ngebantu kok. Tadinya saya mau ke Solo juga, cuma ga jadi."
"Loh? Mau ke Solo juga? Kenapa ga jadi?"
"Iya, ga jadi aja, hehehhee.. CJ mendadak bilang ga usah kesana, jadi ga jadi deh,"
"CJ?"
"Itu, si calon janin Zi. Dia sering main ke kamarku. Dia temanku, bahkan terkadang jadi penasehatku," Kolab tidak berhenti tertawa. Semua perkataannya diselipkan dengan tawa. Namun ia mendadak tertunduk. "Semoga CJ baik-baik saja ya. Dia bilang sih dia baik-baik saja. Semoga dia benar." Mendadak raut muka si hippies sedikit tertekuk.
"Aku yakin mereka baik-baik saja," ujarku sambil tersenyum berharap sedikit meredakan kesedihannya.

Tidak terasa kami sudah sampai di depan Apartemen Seguni. Usai membayar si taksi, kami beranjak pergi menuju lobi. "Mbak Prada, Mas Kolab. Mbak Zi baik-baik saja kan ya?" tanya Susi si gadis lobi. "Tadi masih dioperasi. Semoga semuanya baik-baik saja ya? Kamu berdoa juga ya, Susi," jawabku. "Pasti mbak! Oh iya. Liftnya sudah benar." "Terima kasih yaa, Susi," tuturku sambil meninggalkan Susi.

Kupencet angka 16. Kulirik Kolab, dia masih agak diam, maksudnya, tidak seceria tadi sebelum membahas janin Zi. "Kamu ga papa, Kolab?" tanyaku. "Hm? Oh ga papa, hehehe," jawabnya sambil menyengir. Wah? Cepat sekali perubahan emosinya.

*Ding*

Kami sampai juga di lantai 16. Sepi. Jelas.
"Nanti aku ke kamarmu ya setelah selesai memindahkan datanya," ujarku pada Kolab yang sudah beranjak ke kamarnya.
"Oke," jawabnya singkat.

Kubuka pintu cokelat tuaku. Kulewati pantry yang masih berhiaskan piring dan gelas bekas yang belum dicuci, hmmm mungkin sejak seminggu yang lalu. Si malas masing menggerogotiku. Segera kuberanjak ke meja kerjaku. Letaknya sejajar dengan kasur king size-ku. Nyalakan si toshi, transfer foto, charge PSP, kembalikan kamera, mandi, tidur. Rentetan agenda beberapa menit ke depan sudah sibuk mengantre di kepalaku. Oke, oke, satu-satu.

Dalam hitungan menit, kamera si hippies sudah ada di tanganku. Siap dikembalikan ke si empunya yang punya barang. Beranjaklah aku ke kamar si hippies. Seperti biasa, pintunya terbuka begitu saja. Oh ada tamu ternyata. Hmm, bau ini. Pasti Sherry.

"Permisi," ujarku sambil mengetuk pintu dan masuk. "Oh kamu di sini juga, sher?"
"Eh, Prada. Iya nih, lagi cerita-cerita aja sama Kolab. Tadinya mau cerita ke kamu, tapi kamunya belum pulang tampaknya," tutur Sherry yang asik meneguk bir daritadi.
"Oh, tadi ke rumah sakit,"
"Iya si Kolab ini juga baru cerita. Semoga Zi baik-baik saja ya."
Kolab masih asik menyetem gitar. Sesekali meneguk bir yang semerk dengan yang dipegang Sherry.
"Kolab, ini kameramu. Terima kasih banyak ya,"
"Sip. Sama-sama. Kalau perlu apa-apa lagi. Tinggal kesini aja. Ga usah ragu-ragu lah," ujar Kolab yang masih asik sendiri.
"Oke. Aku ke kamar ya. Sher, aku ke kamar ya. Kamu kalau ada apa-apa, ke kamar aja. Oke?" ujarku seraya meninggalkan mereka berdua. "Oh! hampir lupa! Kamu sudah baca artikel-artikelku?"
"Belum semuanya. Tadi baru sekilas-sekilas saja. Terima kasih ya! Pasti aku baca," jawab Sherry sambil tersenyum. Manis. Semanis wangi parfumnya yang khas itu.

Aku beranjak ke kamarku. Mandi. Tidur. Tinggal dua pengantre di otakku. Selamat malam kalau begitu :)

Prada Prameshwari
plot/ seri 01/ eps.002: SHERRY/ post: #007. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/035-1604.html

#038: 1601

in this story: Kolabton Nawalem

Bau ini... Susah dijelaskan. Tanda aku sudah sampai di Apartemen Seguni. Bangunan yang umurnya tidak terlalu tua. Aku berdiri mematung di hadapan gedung ini. Mataku meneliti kaki hingga kepala bangunan ini. Langit mulai menghitam di ujung sana. Lagi-lagi.. Hm.. Bau sore menjelang malam.

Aku selalu percaya bahwa setiap tempat dan waktu memiliki bau khasnya masing-masing. Susah untuk mendeskripsikannya, hanya bisa dipercayai. Bukankah setiap keyakinan begitu adanya? Kau tidak bisa membuat orang percaya, kecuali tertarik.

Selain itu, aku pun sering merekam periode-periode tertentu dalam hidupku dengan lagu-lagu. Yang masih aku ingat, lagu "Mungkinkah" karya Stinky adalah penanda masa akhir SMA. Dan di televisi, kini, entah bagaimana sang vokalis band tersebut alih profesi jadi pelawak. Ya, komedi adalah sebuah pelarian, komedi adalah hiburan, pun komedi adalah tragedi.

Aku masuk ke dalam apartemen. Ada beberapa orang di lobi. Lagi-lagi nonton tivi. Kali ini tayangan gosip. Cih! Dari matahari baru ngaceng sampai loyo, selalu saja ada gosip. Sesuatu yang tak penting dipaksakan penting. Beritanya pun seputar perceraian, pacaran, dan persetubuhan. Memuakkan. Lagipula mereka bukan artis. Hanya selebritis! Ketimbang aku marah-marah tidak jelas, lebih baik aku menuju kamar. Kali ini aku memilih jalan kaki ke atas, biar lelah dan mandi air panas dengan puas.

Tap.. Tap.. Tap.. Sunyi. Bunyi langkahku bergaung. Dan entah di lantai berapa, aku lihat si hippies tergeletak. Darah menggenangi kepalanya. Rambutnya jadi awut-awutan becek. Kenapa pula dia? Tidak ada orang. Tidak ada OB.

Aku tanya mengapa dia bisa berdarah-darah begitu (seperti manekin aneh di kamarnya). Tak ada penjelasan berarti. Dia malah terlihat tergesa-gesa bagaikan ada semut api di lubang pantatnya.

"Zi di rumah sakit yang searah kiblat!" ujarnya. Hah?! Apa pula rumah sakit searah kiblat? "Melahirkankah?" tanyaku. Wajahku yang kaget pasti terlihat bodoh.

"Tidak tahu," balas si hippies. Dia mengajakku ke rumah sakit. Aku ikut saja, mengingat Zi telah baik kepadaku.

Si hippies merangkulkan lengannya di leherku. Sok akrab. Darahnya menciprati bajuku. Cat plus darah. Corak aneh. Mungkin bisa jadi tren fesyen suatu hari. Hm.. Bau apa ini? Tidak enak betul. Setelah aku intip ke kiri, rupanya itu bau darah kering plus ketiak si hippies. Sial...

Di taksi, aku melamun. Tidak berbicara sama sekali dengan supir maupun pak gondrong di sebelahku. Kontak antar taksi jadi latar suara pengiring perjalanan. Lampu jalan mulai menyala. Pendar kuningnya membawa rindu. Entah rindu terhadap apa, aku pun tak tahu. Sekejap saja sendu. Pepohonan dan orang-orang seakan ditarik secara cepat ke belakang taksi. Langit langsung muram, pertanda malam. Seperti pada kisah "The Phantom Toolbooth". Ajaib.

Tahu-tahunya kami sudah sampai di RS Hermina. Aku membayar taksi karena Kolab (betul kan itu namanya?) hampir kolaps. "Saya belum makan tiga hari, Beng. Tolong belikan bakpau," rengeknya. Tanpa basa basi aku turuti saja. Aku pergi keluar dan mencari tukang bakpau. Selalu ada tukang bakpau di rumah sakit. Adakah penelitian tentang ini? Haha... Selain itu, ada tukang sate dan nasi goreng yang berdiri di gerobak dengan kesibukan masing-masing.

Nah, bakpau sudah tiba. Namun entah mengapa mataku tertuju ke samping gerobak tukang nasi goreng. Sepasang suami istri makan bersama empat anaknya. Si istri membersihkan mulut suaminya yang ada nasinya, dengan tisu. Si istri menggendong seorang putri di dadanya dengan kain bercorak batik. Lalu dua bocah laki-laki yang menggoda adik perempuan mereka. Manis sekali. Sekejut kemudian mereka menoleh ke arahku. Kakiku langsung dingin. Badanku serasa beku.

Wajah mereka mirip keluargaku yang sudah mati, dengan aku yang masih kecil di dalamnya! Mereka menyeringai. Ngeri.

Aku angkat kaki dari tempat itu, meski berat kurasa.

*

Tanganku menyodorkan bakpau itu, tapi rasanya lemas sekali. Bakpau itu jatuh. "Kamu kenapa, Beng?" tanya Kolab, sembari menepuk pundakku. Aku tak bisa menjawab. Hanya diam. Sebuah bau menyeruak. Susah dijelaskan. Memori baru terbentuk melalui kejadian ganjil tadi. Memori yang tak enak, yang akan terus hinggap di kepala...


Langa Beng Otanga
plot/ seri 01/ eps.003: BIBIT PSIKOPAT DI KEBUN SINGKONG/ post: #009. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/034-1603.html

7/18/10

#037: 1601

in this story: Sherry, Rasuna Adikara, Kolabton Nawalem, Prada Prameshwari, Langa Beng Otanga.

Semuanya terang. Terlalu terang hingga aku tak bisa membuka mata. Tapi lamat-lamat kudengar suara-suara disekitarku.

"Ini untuk yang kedua kalinya dia masuk ruang operasi. Ada apa lagi dengan dia?" seseorang menggerutu.

Ruang operasi? Untuk apa aku disini? Untuk yang kedua kalinya pula?

"Jahitan di leher rahim sepertinya membuka, kita akan mencoba menjahitnya lagi" sebuah suara lain yang simpatik terdengar di telingaku.

Jahitan? Leher rahim?? Apa yang terjadi denganku? Aku lantas mencoba mengingat-ngingat. Aku ingat tadi aku menuruni tangga apartemen karena lift rusak, aku ingat bagaimana Jeko menemaniku turun lalu Sherry, perempuan dugem datang menaiki tangga dan....ah aku jatuh, melihat darah, dan aku tidak tahu apa-apa lagi.

Jadi aku pendarahan? Lantas bagaimana dengan janinku? Bagaimana dengan calon anak-anakku? Apakah mereka selamat?

Sambil panik merasakan ini aku merasakan tangan-tangan menggerayangi tubuhku. Seseorang menempelkan sesuatu di dadaku. Di sebelah atas payudara kananku, orang lainnya menempelkan sesuatu di jariku. Meski bisa merasakan tekanan mereka aku tidak lagi merasa apapun. Aku hanya tahu mereka menekanku.

"Siapa yang mengoperasi? Dokter Willy lagi?" suara yang tadi menggerutu bertanya.
"Entahlah, tapi kudengar Dokter Willy sedang meminta bantuan temannya. Katanya ini kasus khusus. Mungkin karena operasi pertama gagal." ini suara yang lain lagi. suara perempuan

Ah, jadi sebenarnya berapa orang sih yang ada di sini? Aku mencoba berpikir. Membedakan suara-suara mereka.

"Kira-kira seberapa cepat dokternya datang?" ini si gerutu lagi bersuara.
"Entahlah, tapi kuharap sesegera mungkin. Pendarahannya harus segera dihentikan. Aku tak tega melihata suaminya yang menangis di ruang tunggu dari operasi pertama tadi. Sekarang kurasa ia masih menagis disana " ini si simpatik lagi

Hmm. Suami?? Mana mungkin suamiku kesini? Ah aku lupa. Aku sudah tak punya suami!

Pintu terdengar terbuka. Wangi yang familiar menyapa penciumanku. Wangi yang begitu manis dan terlalu familiar.

"Ini Dokter Sherry. Dia akan menjadi dokter operasi malam ini, saya akan menjadi asisten dokter. Meski bukan dokter indent saya harap tidak ada yang mempertanyakan kualitas dokter Sherry. Dia mengambil dua spesialisasi di Amerika dan lulus cum laude pada keduanya." suara bariton terdengar.

Dokter Sherry?? Mungkinkah Sherry yang itu?!

"Baiklah operasi kita mulai!" ini suara perempuan...mirip Sherry tetanggaku itu.

Aku merasakan sepasang tangan meraba-raba perut dan bagian bawahku.

"Usia kehamilan 18 Minggu, ibu memiliki pendarahan hebat karena terjatuh, dijahit tapi berdarah kembali" ini si bariton.
"Jahitannya terlepas. Ada yang tidak sempurna saat penjahitan pertama. Teknik Jahit seperti ini tidak akan cukup untuk menopang tiga janin sekaligus. Kita akan membuka kembali jahitan itu" ini suara Sherry. Tegas. dan entah bagaimana cukup menenangkan.

Aku lantas mendengar Sherry meminta alat-alat operasi. Gunting, jarum, benang.

"saya akan melakukan figure of eight suture atau teknik jahit angka delapan untuk menjahit leher rahim. Lapis dalam lapis karena luka cukup dalam. Air ketuban bagus dan janin dalam keadaan sehat."

Aku sangat tenang mendengar janin kembar tigaku sehat-sehat saja. Terserah pada Sherry mau seperti apa dia menjahit mulut rahimku. Yang penting janinku selamat.

Kres kres kres. Aku merasa tekanan-tekanan gerakan di bawah. Tapi hanya tekanan saa. Tidak ada sakit atau apapun.

"Ini jahitan terakhir. Ya! cervial cercleage selesai! Kondisi jantung ibu normal, Tekanan darah normal. Janin sehat. Pasien bisa dibawa ke ruang perawatan"

Dengan itu operasi selesai. Aku bisa merasakan orang-orang mulai membuka apa yang asalnya mereka letakkan di tubuhku. Membuka baju operasiku dan menggantinya dengan baju rumah sakit dengan pelan dan hati sebelum aku dipindahkan menuju ranjang berjalan. Begitu lampu yang sangat terang itu dimatikan, aku membuka mata. Beberapa perawat menoleh dan tersenyum menyadari aku sudah sadar. Atau setengah sadar karean aku belum merasakan dingin, panas atau rasa sakit yang seharusnya datang.

Saat pintu keluar operasi dibuka. Aku melihat Sherry, Jeko, Beng, Prada, Hippies depan kamar dan satu perempuan yang tadi kulihat di depan kamar Jeko. Sherry masih dengan baju operasinya. Aku hanya bisa tersenyum dan menggumamkan terimakasih sebelum mataku memberat. Aku ingin tidur.

Ziantine Larasati
plot/ seri 01/ eps.004: SI CALON JANIN/ post: #005. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/032-1602.html

#036: 1605

in this story: Kolabton Nawalem


Aku butuh teman diskusi. Setelah beberapa bulan belakangan kabur masalah akhirnya hal yang sebelumnya sudah kupikirkan sebelumnya terjadi juga. Aku capek berlari. Aku ingin berhenti, sedikit mengambil nafas, kemudian berjalan seperti biasa. Suapa aku masih bisa menikmati pemandangan disekitarku.


Besok, hari pernikahan Eibi. Datang atau tidak? Sampai sekarang aku masih belum bisa memutuskan. Aku sangat ingin melompat hari esok, aku ingin sekali tidak datang, seharian tidur di kamar, tapi ini EIbi. Hati kecilku masih berusaha untuk menghentikan pernikahan itu. Tapi, kalaupun pernikahan itu tidak jadi terjadi, apakah aku berani menggantikan posisi wanita di sisi Eibi. Apakah aku berani untuk menjadi seorang istri?


Sungguh aku butuh teman diskusi. Dari buku "How to forger you ex in 30 days" mengatakan demikian. Jika anda sudah tidak tahu lagi apa yang ahrus anda lakukan, biar orang lain yang memutuskan. Yeah, bodoh. Tapi toh aku memang bodoh untuk urusan cinta.



Teman.. hmm.. teman… Ah, sudah berapa lama aku tidak bicara dengan orang lain dalam keadaan sadar? Teman lamaku mungkin sudah mengira aku mati bunuh diri. Pikiranku melayang. Siapa temanku…?


*


"Tok tok tok.."


Kuketuk pintu kamar itu. Kamar bernomor 1604. Kamar Prada. Sekitara 30 detik tidak ada jawaban, aku mengetuk pintu itu untuk yang kedua kalinya. Masih belum ada jawaban. Sepertinya tidak ada orang di dalam kamar itu. Kemudian aku berbalik memandang pintu kamar yang berada tepat di depan kamarku. Ah, mantan kamar Dinasti, temanku, dulu, dua bulan yang lalu Dinasti pindah ke Swedia untuk urusan pekerjaan. DIa dulu yang menenangkanku ketika aku hampir mati tercekik sesak napas saking lamanya menangis. Sekarang kamar itu sudah dihuni orang lain.


Kemudian aku mulai berjalan di lorong lantai ini. Melewati lift dan pintu tangga darurat. Berjalan menuju sisi lain lantai 16 ini. Entah apa yang ada dipikiranku. Yang jelas kakiku ini seperti berjalan sendiri. Seperti ada yang menyuruhnya untuk berjalan, tapi bukan saraf motorik otakku. Aku belum pernah berkenalan sebelumnya dengan orang-orang penghuni 16 di sisi ini.


Dari empat kamar yang ada, tiga diantaranya tertutup rapat, satu yang berada di pojok dan berada sama di sisi kamarku pintunya terbuka. Kakiku masih terus berjalan, menuju ke arah pintu yang terbuka. Sesampaiya didepan kamar tersebut, langkahku terhenti. Tanganku memegang kusen pintu. kepalaku mulai bergerak melongok kedalam kamar tersebut sampai setengah badanku ikut masuk.


Masih tidak tahu apa yang ada dipikiranku, aku masuk kedalam kamar itu. Aku memandang berkeliling. Ada banyak, banyak sekali barang barang aneh di sini. Kulihat tempat tidur gantung, dibawahnya tergeletak seonggok gitar busuk. Ada kulkas, tapi entah tahun berapa itu kulkas diproduksi. Seperti jaman kakekku saja. Di langit2nya terdapat jam dinding super besar dan aku tidak habis pikir bagaimana cara memasang benda itu.


Tidak ada orang. aku memilih duduk di lantai dekat tumpukan ___sepertinya piringan-piringan hitam. Karena hanya ditempat itu sepertinya yang bisa diduduki oleh manusia. Kamar ini terlalu berantakan. Bahkan untuk ukuran aku yang sudah termasuk perempuan berantakan. Hmm. Suka musik sekali, ya, nampaknya. Aku mencari pemutar piringan hitam. Masa punya banyak koleksi piringan hitam tapi tidak punya gramophonenya?


Kubongkar tumpukan baju kotor cum sprei cum jaket cum kolor cum selimut yang menumpuk diatas sofa. Dan aku kaget sekaget kagetnya sampai rasanya jantungku jatuh hingga kel ututku. Sesosok mirip manusia yang ternyata adalah manekin botak tergeletak nyaman dibawah tumpukan tersebut. Astaga. Orang macam apa yang tinggal di dalam kamar ini?


Aku memindahkan manekin plus tumpukan laundry ketempat lain sehingga akupun ahirnya bisa duduk di sofa. Baru aku sadar. Ngapain aku ada disini?


"Hei?" tanya sebuah suara dari arah pintu.


"Eh, hai, maaf, pintu kamarku tadi terbuka.. eh? kamu?" sebentar-sebentar, kayaknya aku pernah liat pria yang sekarang sedang mengambil minuman di kulkas, seakan-akan tidak heran ada orang asing di kamarnya. Dan pria ini, dia kan yang waktu itu di tangga darurat?


"Kamu, yang waktu itu tidur di tangga ya?" tanyaku kemudian.



"Hah?" dia nampak bingung, wajahnya muncul dari balik pintu kulkas kemudian mendekatiku sambil membawa dua kaleng bir, memberikannya kepadaku dan mendekatkan wajahnya padaku. "Sherina, ya?" katanya.


"Sherry. Aku Sherry," aku membetulkannya. Wah, ternyata ini kamar seniman aneh ini. Pantes. "Tidak apa-apa kan aku di sini? Sibuk?" tanyaku sambil menyeruput bir yang tadi diberikannya. Ah, segar sekali. Seperti bir yang paling enak di dunia. Aneh.


"Oh.. gak papa.. santai saja. Anggap rumah sendiri. Aku tidak begitu sibuk. Tadi baru saja dari rumah sakit. Zi, kamu kenal Zi? Dia tetangga depan kamarku, tadi terpeleset ditangga darurat" cerocosnya. Dia pun duduk di sampingku, sisi sofa sebelah satunya lagi sehingga kamu bisa berhadap-hadapan, akupu membetulkan posisi dudukku.


"Wah? Gawat kah?" tanyaku spontan.


"Lumayan, tapi CJ bilang dia tidak apa-apa.." ujarnya santai. Kemudian mengambil gitar (oh rupanya gitar itu masih bisa berfungsi) dan mulai memetik-metik benerapa nada.


Aku diam. Tidak mengerti apa yang dikatakannya. Aku rasa orang ini cukup nyentrik. Dan aku rasa orang ini bisa diajak diskusi tentang masalahku. Sudah ada bir lagi ditangan kita berdua. Heheheheheheheheheee….


Sherry

plot/ seri 01/ eps.002: SHERRY/ post: #004. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/029-1605.html


#035: 1604

in this story: Rasuna Adikara, Kolabton Nawalem, Ziantine Larasati, Sherry.

Selesai juga tulisan tentang si Kanker Serviks ini. Lumayan, minggu ini deadline tidak seburu-buru biasanya. Inilah enaknya liputan ke luar kota, aku hanya perlu menyelesaikan beberapa tulisan dari satu isu. Peer tulisan untuk deadline minggu berikutnya pun diberikan kepada orang lain. Sayang, untuk satu edisi belum tentu ada liputan ke luar kota, dan kalaupun ada, dan belum tentu diberikan padaku.

Kuputuskan untuk print tulisan-tulisan tersebut dan akan kuberikan pada Sherry. Ya, Sherry, si gadis yang selalu wangi. Kehadirannya mudah sekali kukenali, bila ada wangi parfum--kadang tercampur bau alkohol--di pelataran apartemen ini, bisa dipastikan itu Sherry.

Nah, sudah ter-print semua. Matikan Toshi, ambil si LV, coat hitam--belakangan ini Bandung terlampau dingin, oh tak lupa si blackberry, mari keluar sekalian cari makan. *Ting, tong.. Ting, tong..* Hmm, mungkin Sherry belum pulang. Kuputuskan untuk menyelipkan kumpulan tulisan ini di bawah lantai pintu Sherry. Kuambil secarik kertas dan kutulis:

Untuk Sherry,

Maaf kalau aku lancang, tapi artikel-artikel ini mungkin berguna untuk kamu :)

Prada Prameshwari

Sudah. Mari cari makan!

*

Cihampelas Walk malam ini ramai sekali, bahkan terlalu ramai. Kuputuskan untuk makan malam di Gokana bersama teman baikku, Minna. All single ladies, all single ladies... Kulirik sedikit si blackberry sambil terus mengunyah Yakimeshi. Syamina Walendra Prameshwari alias Ibuku. Agak malas sebenarnya kujawab telepon si ibu. Paling-paling beliau beraksi lagi ala matchmaker sejati. Ya, inilah kerjaan ibuku baru-baru ini, jodoh-menjodoh ala jaman Siti Nurbaya. Keluargaku jawa asli, Yogyakarta lebih tepatnya. Ibuku keturunan asli Adipati Mangku Bumi. Sayangnya, si darah biru kerap membuatku terbelenggu, membeku. Apalagi kalau bukan masalah calon suami.

Usiaku baru menginjak angka 27 tahun ini, namun Ibuku sudah heboh sendiri mencari calon suami untukku. Memang tinggal aku yang belum menikah di antara 2 saudara tertuaku. Bukannya tidak laku, namun seperti yang aku bilang tadi, darah biru ini kerap membuatku membeku. Tidak bisa memilih sesuai dengan keinginanku. Permasalahannya terletak di suku adat si calon suami. Keluargaku, oh lebih tepatnya Ibuku, hanya mau menerima calon suami yang berasal dari keturunan kerajaan asli. Apalagi kalau bukan masalah gengsi. Bilangnya sih, demi menjaga silsilah. Ah, pikiranku terlalu liberal untuk itu. Makanya sampai saat ini aku memutuskan untuk menyibukkan diri daripada memikirkan si calon suami yang harus keturunan asli. Blah.

*Klik* Akhirnya kujawab juga telepon Ibuku.
"Kamu dimana mbak? Kok telepon Ibu lama sekali dijawabnya? Kamu lagi apa toh?"
imbuh Ibuku. "Lagi makan, bu. Ini sama Minna temanku. Ada apa, bu, telepon jam segini?"
"Ini Ibu baru pulang dari arisan Ibu-Ibu Dharma Wanita. Terus tadi Ibu dikenalkan sama keponakan Bu Timya. Ternyata dia juga orang Jogja loh mba! Blablablabla...." Sengaja kujauhkan telingaku kalau urusannya sudah begini. Hitung 10 detik, baru pasang kuping kembali, dan Ibuku pasti masih basa-basi. Ah mumpung ada Minna, jadi dia bisa kujadikan alasan untuk menyudahi percakapan ini.
"Ibu, Ibu, (aku harus memanggil beberapa kali sampai akhirnya Ibuku berhenti berbicara sendiri), Ibu, ini aku lagi makan loh sama Minna. Gak enak terima telepon di depan orang begini. Ibu telepon saja nanti lagi ya?" ujarku memotong kalimat panjang si Ibu. "Oh begitu? Yasudah. Nanti Ibu telpon lagi ya, mbak. Ini anaknya baik sekali loh. Tadi saja Ibu diantar pulang ke rumah." imbuh Ibuku tetap promosi. "Iya, bu. Sudah ya. Selamat malam Ibu, salam sama Bapak yaa."

Akhirnya. "Barang baru lagi ya?" ledek Minna sambil tertawa. "Ah sial kamu, udah ah." ujarku sambil agak cemberut.

Selesai makan kuputuskan untuk membelikan Jeko makanan, beli J.Co aja kali ya? Tatitutatitut. Tuuutt. Tuuttt. Kuputuskan untuk menelepon Jeko terlebih dahulu, barangkali dia tidak pulang malam ini.
"Halo, Jeko? Aku lagi di Ciwalk nih, kamu pulang ga malem ini? Aku mau belikan J.Co kesukaanmu." Terdengar sesenggukan di ujung sana. Aku panik. "Jeko? Jeko? Kamu ga papa??" Tiba-tiba ada yang berbicara, bukan suara Jeko. "Halo, mba Prada ya? Saya Jon, supir taksi. Saya juga pernah nganter mba kok."

"Loh supir taksi? Emang Jeko lagi dimana?? Jeko ga papa??" ujarku makin panik. "Tenang mba, Jeko ga kenapa-napa. Ini kita lagi di rumah sakit, mba Ziantine tadi terjatuh dari tangga. Pendarahan. Ini saya juga lagi nunggu si Kolab, katanya mau kesini juga." tutur Jon.

"Hahh???? Zi jatuh?? Astaga! Yaudah saya langsung ke sana juga! Rumah sakit mana sih?" Selesai Jon menyebutkan nama rumah sakit tempat Zi dan Jeko berada, aku memutuskan langsung bergegas ke J.Co untuk memesan. "Dua lusin, mas! Cepat ya! Campur aja semuanya! Oh, Alcaponenya yg banyak ya!"

Aku pun berpamitan dengan Minna dan bergegas menaiki taksi di depan Mall ini. "Ke Hermina pak! Ngebut ya!"
Untung si supir taksi cukup lihai. Tidak sampai sepuluh menit, aku sudah sampai di rumah sakit bersalin ini. Akupun bergegas ke UGD. Mungkin masih pada disana, pikirku. Dan benarlah, kutemukan Jon si supir taksi, Kolab si hippies, Beng si misterius, dan Jeko yang tertunduk masih menangis.

Kulihat pintu UGD, lampu merahnya masih menyala.
Semoga Zi tidak apa-apa.

Prada Prameshwari
plot/ seri 01/ eps.004: SI CALON JANIN/ post: #004. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/026-1604.html