Lantai 16

7/18/10

#035: 1604

in this story: Rasuna Adikara, Kolabton Nawalem, Ziantine Larasati, Sherry.

Selesai juga tulisan tentang si Kanker Serviks ini. Lumayan, minggu ini deadline tidak seburu-buru biasanya. Inilah enaknya liputan ke luar kota, aku hanya perlu menyelesaikan beberapa tulisan dari satu isu. Peer tulisan untuk deadline minggu berikutnya pun diberikan kepada orang lain. Sayang, untuk satu edisi belum tentu ada liputan ke luar kota, dan kalaupun ada, dan belum tentu diberikan padaku.

Kuputuskan untuk print tulisan-tulisan tersebut dan akan kuberikan pada Sherry. Ya, Sherry, si gadis yang selalu wangi. Kehadirannya mudah sekali kukenali, bila ada wangi parfum--kadang tercampur bau alkohol--di pelataran apartemen ini, bisa dipastikan itu Sherry.

Nah, sudah ter-print semua. Matikan Toshi, ambil si LV, coat hitam--belakangan ini Bandung terlampau dingin, oh tak lupa si blackberry, mari keluar sekalian cari makan. *Ting, tong.. Ting, tong..* Hmm, mungkin Sherry belum pulang. Kuputuskan untuk menyelipkan kumpulan tulisan ini di bawah lantai pintu Sherry. Kuambil secarik kertas dan kutulis:

Untuk Sherry,

Maaf kalau aku lancang, tapi artikel-artikel ini mungkin berguna untuk kamu :)

Prada Prameshwari

Sudah. Mari cari makan!

*

Cihampelas Walk malam ini ramai sekali, bahkan terlalu ramai. Kuputuskan untuk makan malam di Gokana bersama teman baikku, Minna. All single ladies, all single ladies... Kulirik sedikit si blackberry sambil terus mengunyah Yakimeshi. Syamina Walendra Prameshwari alias Ibuku. Agak malas sebenarnya kujawab telepon si ibu. Paling-paling beliau beraksi lagi ala matchmaker sejati. Ya, inilah kerjaan ibuku baru-baru ini, jodoh-menjodoh ala jaman Siti Nurbaya. Keluargaku jawa asli, Yogyakarta lebih tepatnya. Ibuku keturunan asli Adipati Mangku Bumi. Sayangnya, si darah biru kerap membuatku terbelenggu, membeku. Apalagi kalau bukan masalah calon suami.

Usiaku baru menginjak angka 27 tahun ini, namun Ibuku sudah heboh sendiri mencari calon suami untukku. Memang tinggal aku yang belum menikah di antara 2 saudara tertuaku. Bukannya tidak laku, namun seperti yang aku bilang tadi, darah biru ini kerap membuatku membeku. Tidak bisa memilih sesuai dengan keinginanku. Permasalahannya terletak di suku adat si calon suami. Keluargaku, oh lebih tepatnya Ibuku, hanya mau menerima calon suami yang berasal dari keturunan kerajaan asli. Apalagi kalau bukan masalah gengsi. Bilangnya sih, demi menjaga silsilah. Ah, pikiranku terlalu liberal untuk itu. Makanya sampai saat ini aku memutuskan untuk menyibukkan diri daripada memikirkan si calon suami yang harus keturunan asli. Blah.

*Klik* Akhirnya kujawab juga telepon Ibuku.
"Kamu dimana mbak? Kok telepon Ibu lama sekali dijawabnya? Kamu lagi apa toh?"
imbuh Ibuku. "Lagi makan, bu. Ini sama Minna temanku. Ada apa, bu, telepon jam segini?"
"Ini Ibu baru pulang dari arisan Ibu-Ibu Dharma Wanita. Terus tadi Ibu dikenalkan sama keponakan Bu Timya. Ternyata dia juga orang Jogja loh mba! Blablablabla...." Sengaja kujauhkan telingaku kalau urusannya sudah begini. Hitung 10 detik, baru pasang kuping kembali, dan Ibuku pasti masih basa-basi. Ah mumpung ada Minna, jadi dia bisa kujadikan alasan untuk menyudahi percakapan ini.
"Ibu, Ibu, (aku harus memanggil beberapa kali sampai akhirnya Ibuku berhenti berbicara sendiri), Ibu, ini aku lagi makan loh sama Minna. Gak enak terima telepon di depan orang begini. Ibu telepon saja nanti lagi ya?" ujarku memotong kalimat panjang si Ibu. "Oh begitu? Yasudah. Nanti Ibu telpon lagi ya, mbak. Ini anaknya baik sekali loh. Tadi saja Ibu diantar pulang ke rumah." imbuh Ibuku tetap promosi. "Iya, bu. Sudah ya. Selamat malam Ibu, salam sama Bapak yaa."

Akhirnya. "Barang baru lagi ya?" ledek Minna sambil tertawa. "Ah sial kamu, udah ah." ujarku sambil agak cemberut.

Selesai makan kuputuskan untuk membelikan Jeko makanan, beli J.Co aja kali ya? Tatitutatitut. Tuuutt. Tuuttt. Kuputuskan untuk menelepon Jeko terlebih dahulu, barangkali dia tidak pulang malam ini.
"Halo, Jeko? Aku lagi di Ciwalk nih, kamu pulang ga malem ini? Aku mau belikan J.Co kesukaanmu." Terdengar sesenggukan di ujung sana. Aku panik. "Jeko? Jeko? Kamu ga papa??" Tiba-tiba ada yang berbicara, bukan suara Jeko. "Halo, mba Prada ya? Saya Jon, supir taksi. Saya juga pernah nganter mba kok."

"Loh supir taksi? Emang Jeko lagi dimana?? Jeko ga papa??" ujarku makin panik. "Tenang mba, Jeko ga kenapa-napa. Ini kita lagi di rumah sakit, mba Ziantine tadi terjatuh dari tangga. Pendarahan. Ini saya juga lagi nunggu si Kolab, katanya mau kesini juga." tutur Jon.

"Hahh???? Zi jatuh?? Astaga! Yaudah saya langsung ke sana juga! Rumah sakit mana sih?" Selesai Jon menyebutkan nama rumah sakit tempat Zi dan Jeko berada, aku memutuskan langsung bergegas ke J.Co untuk memesan. "Dua lusin, mas! Cepat ya! Campur aja semuanya! Oh, Alcaponenya yg banyak ya!"

Aku pun berpamitan dengan Minna dan bergegas menaiki taksi di depan Mall ini. "Ke Hermina pak! Ngebut ya!"
Untung si supir taksi cukup lihai. Tidak sampai sepuluh menit, aku sudah sampai di rumah sakit bersalin ini. Akupun bergegas ke UGD. Mungkin masih pada disana, pikirku. Dan benarlah, kutemukan Jon si supir taksi, Kolab si hippies, Beng si misterius, dan Jeko yang tertunduk masih menangis.

Kulihat pintu UGD, lampu merahnya masih menyala.
Semoga Zi tidak apa-apa.

Prada Prameshwari
plot/ seri 01/ eps.004: SI CALON JANIN/ post: #004. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/026-1604.html

No comments:

Post a Comment