Lantai 16

8/11/10

#043: 1602

minggu pagi yang cerah ini, harusnya jadi awal dari rangkaian hari yang indah. dengan menampan sepiring waffle dan menjinjing sekotak susu cair, hendak ke lobi, untuk pelototi acara masak ala-ala chef FQ.

ritual pagi masih menjadi gerbang hari yang indah, sebelum kudengar seorang memekik. jerit wanita, milik Prada. jelas kukenali karena lolong itu identik dengan lenguhnya saat kami saling mencicip, beberapa bulan lalu. yang beda, ini jerit ketakutan. suara yang berasal dari depan kamarnya kukira, dengan cepat mengudara ke antero lantai.

pas sekali, aku hendak keluar dan nonton FQ, kupercepat langkah dan dengan sigap membuka kenop pintu yang tak pernah tergantung kunci di lubangnya. kulihat, Prada terduduk lemas di depan dinding kamarnya, menghadap ke lobi lantai tempat ku biasa menonton acara masak favoritku saban minggu.

di lobi lantai itu, kini, dindingnya memerah seperti kena cipratan darah, dan sepenggal kepala kambing digantung terbalik tepat di atas lantai yang digurat gambar bintang dengan lima lilin tertancap di lima titiknya.

terbaca dengan jelas, di sela dinding yang telah berlumuran cat merah serupa darah, sebuah kalimat yang ditulis dengan piloks hitam: ‘SEKALI MASUK, TAK PERNAH BISA KELUAR’. jelas ini bukan peringatan untuk orang yang hendak bercinta.

kepala kambing yang digantung terbalik, bintang segi lima, lilin yang dibiarkan menyala. jelas ini teror, kepada siapa? entahlah. yang pasti terakhir kali membaca berita tentang teror seperti ini, korban ditemukan beberapa minggu kemudian tewas dalam keadaan mengenaskan.

*

dengan dalih mengecek fungsi alat-alat yang ada di sekitar TKP, aku mengambil remota dan menyetel TV, bukan kebetulan bila ketika nyala, FQ ada di layar kaca, aku memindahkannya ketika peralihan dari gelap ke terang saat TV dihidupkan. yang kebetulan itu, FQ minggu ini memasak iga kambing.

tak ada yang rusak, lampu kipas yang digunakan untuk menggantung kepala kambing pun masih berfungsi. lucu ketika melihat kepala kambing tersebut berputar mengelilingi lilin-lilin yang tinggal beberapa senti di atas karpet yang telah dilubangi. ya, hanya karpet itu yang rusak.

logikanya jelas, mereka butuh ubin kayu untuk menggurat bintang lima, dan menyalakan lilin di atasnya. tak aneh kalau tak ada yang rusak, lagipula ini bukan kasus pencurian, ini teror.
satu persatu penghuni lantai keluar kamar, tapi tak ada yang berani mendekati lobi. Kolab muncul dengan mata segaris, jelas ini masih jam tidurnya, Ziantine juga setelah melahirkan anak kembarnya jadi malas bangun pagi. sementara Sherry keluar dengan mengenakan lingerie tipis dan sisir tersangkut di rambutnya yang semrawut.

Flo, penghuni baru di apartemen ini menghardik, “Jeko, jangan sentuh apapun sebelum polisi datang.” aku yang seperempat kaget, menoleh ke arahnya, di tangan kanan menampan sepiring waffle, di tangan kiri menjinjing kotak susu yang sudah tak begitu dingin, “di sini, lebih baik tidak percaya Tuhan daripada percaya polisi!”

woo, aku mengagumi diri sendiri atas ucapanku barusan. ah, andai FQ bisa melihatku dari balik layar kaca. sementara si kepala kambing yang digantung terbalik kini posisinya menghadap televisi, juga menonton FQ. aku membayangkan ia berkata, “oh mungkin yang dipasaknya kini, dulu adalah tulang rusukku. tapi tunggu sebentar, apa itu di balik ketat kaosnya, seratus pasang buah zakar kambing remaja. koki gila.”

pagi yang gila juga bagi seluruh penghuni lantai 16 l’appartemant. eh, tapi mana Beng? astaga, jangan-jangan ini bukan sekadar ancaman, melainkan penculikan.

Rasuna Adikara
plot/ seri 02/ eps.005: TEROR/ post: #006. prev post: -

No comments:

Post a Comment