Lantai 16

8/23/10

#046: 1603

Matahari di Minggu siang ini menggantung dengan angkuhnya. Sengat panasnya benar-benar menusuk sampai pori-pori. Dan kini di hadapan bangunan apartemen yang seperti raksasa yang melamun aku kembali hadir. Seguni.

***

Sudah setengah tahun kukira aku dua kali meninggalkan Apartemen Seguni. Pertama untuk melarikan diri dari hantu masa lalu, saat Zi berdarah-darah di RS Hermina dan di sana aku melihat sekeluarga aneh berwajah keluargaku. Sebenarnya pelarianku yang pertama itu ke Jakarta selama dua minggu hanya untuk, ya katakanlah, bertamasya, juga mencari inspirasi. Aku bertemu dengan kolega dan para kurator sekaligus mengunjungi beberapa tempat seni seperti Museum Seni Rupa dan Keramik di Kota Tua, Galeri Nasional, Taman Ismail Marzuki, dan lainnya yang tak mesti kusebut semua.

Seperti alay saja pamer-pamer tempat jalan-jalan. Wah aku menggunakan term alay?! Hahaha.. Apa pula itu alay.

Aku sempat kembali tapi hanya beberapa hari untuk sekedar mencium aroma kamar dan menyepi. Kemudian perlarian keduaku ialah pergi ke Yogyakarta untuk merampungkan lukisan untuk turut dalam pameran bertema "Anomali Tubuh" di mana aku bergabung dengan beberapa perupa di sana. Talenta seniman Yogya memang luar biasa. Kurator dalam helatan kali itu ialah Ucok alias Aminudin TH Siregar. Mungkin banyak orang bosan melihat kurasi yang kerap menampilkan nama itu atau Jim Supangkat. Tapi ya sudahlah. Toh dia pintar dan bayarannya bersahabat. Hehehe..

Empat dari lima gambarku laku terjual. Bayarannya juga cukup untuk menambah saldo di rekeningku. Tapi ada satu hal yang mengganjal. Dalam buku tamu, kulihat tulisan bernada ancaman: DASAR KAFIR! GAMBAR PORNO BUKAN SENI! LIHAT SAJA KALIAN NANTI!

Memang sih, entah aku pernah baca dimana, tulisan tidak mungkin mewakili ekspresi secara utuh, makanya ada emoticon. Tapi akan sangat aneh kalau tulisan tersebut diberi emoticon. Seperti lawakan jadinya. Tulisan itu cukup meresahkan kami. Ah, ya sudahlah paling cuma kerjaan orang iseng yang tak tahu seni.

Di samping itu, kota itu cukup damai untuk ditinggali meski ada berita tentang pembunuh misterius yang membunuh orang-orang yang ditemuinya di jalan secara serampangan. Pembunuhan tak berpola namun dengan gaya yang jelas-jelas meniru Jack The Ripper. Kebanyakan korbannya ialah mahasiswa. Sampai sekarang sudah belasan korban jiwa tercatat. Ciri khasnya ialah ada kepala kambing tergeletak di sisi mayat yang kepalanya dipancung.

***

Kubuka pintu apartemen itu. Televisi menayangkan siaran highlight sepakbola. Si penjaga lobi tak jelas wujudnya. Sofa di lobi dihuni udara kosong dan debu, mungkin juga hantu. Sepi. Langsung saja aku masuk lift lalu kutekan tombol 16.

"Ting tong.." Pintu lift terbuka.

Bau anyir darah. Semua kamar terlihat membisu. Jika ini kejutan ulang tahun ke-30-ku yang sudah lewat berbulan-bulan, benar-benar tidak lucu dan keterlaluan. Dipikir-pikir, darimana pula mereka tahu kalau aku ulang tahun?

Ada apa ini sebenarnya? Aku melongok perlahan. Ruang tamu lantai ini penuh darah bercipratan. Aku mendongak. Kepala kambing tergantung dan turut berputar sesuai arah kipas. Ada coretan aneh di tembok menggunakan darah: "SEKALI MASUK, TAK PERNAH BISA KELUAR".

Tulisan yang sama dengan di TKP Jack The Ripper abal-abal...

Langa Beng Otanga
plot/ seri 02/ eps.003: BIBIT PSIKOPAT DI KEBUN SINGKONG/ post: #011. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/08/042-1603.html

#045: 1600

Pejaman Saya terbuka perlahan, melihat kamar Saya yang sudah terang oleh lampu neon yang hemat energi itu. Orang lokal di sini biasa menyebutnya fhilifs. Jam raksasa belum bernama menunjukkan dengan paksa sudah pukul sepuluh malam.

Saatnya menghibur orang-orang di jalanan lagi. Heah dak! Saya tendang tembok agar ranjang gantung mengayun menjauhi tembok dan saya langsung lompat berdiri dan siap bekerja. Jedug Brak!! ternyata hanya Jackie Chan dan Jet Li yang bisa melakukan itu. Sebelum sempat lompat, ranjang itu keburu mengayun balik ke arah tembok dan beradu dengan kepala Saya.

“Santai woi lo kira pala gw pala kambing apa lo seruduk!!,” teriak saya pelan ngedumel sama tembok. Kemudian saya turun dari ranjang, tangan kiri memegang kepala yang sakit, tangan kanan mendorong pinggang ke depan. Kejadian barusan langsung mengingatkan saya pada kehebohan yang Jeko dan Prada bikin tadi pagi. Bukan tipe kehebohan yang biasanya Jeko bikin, memang melibatkan suara wanita juga tapi kali ini Jeko bicara soal kepala kambing dan komunitasnya, yang informasinya tidak bisa saya olah.

“Memang di jaman seperti ini komunitas sungguh beragam,” pikir Saya sambil membayangkan komunitas ini berkumpul membawa kepala kambing yang paling bagus masing-masingnya, atau mungkin anggotanya mirip kambing semua.

Saya ambil Ricardo yang tergeletak di lantai dan memasukkannya ke dalam kotaknya. “saatnya bekerja Ricardo,” ujar saya yang mungkin semangat. “Klontang…” suara kaleng semprot anti bakteri pengharum ruangan jatuh tersenggol kotak Ricardo.

“Sejak kapan Saya punya barang seperti ini? ”pikir Saya sambil Saya ambil semprotannya. “Semprotannya siapa ini ya?” Saya putar bodynya dan ada tulisan

"untuk kolabton sang inspirator prapatan. By: Mr. Becek"

oh rupanya salah satu barang dari fans ahahaa. Saya putuskan untuk memberikan semprotan ini ke Prada.

Melangkah keluar pintu yang selalu terbuka untuk siapapun dan sedikit termenung melihat pintu Zi, lanjut ke depan kamar Prada untuk memberikan semprotannya. Takut dia sedang tidur Saya taruh semprotan di depan kamarnya dibubuhi sedikit catatan.

“Malin ini ada semp.. Prada Ini ada semprotan bagus untuk menangkal aroma kambing yang bergentanyangan. – Kolabton & Ricardo”

Saya lanjut naik lift untuk turun, kemudian turun lift untuk keluar apartemen tanpa bertemu siapa-siapa. Sungguh sepi akhir-akhir ini. Sesepi hilangnya CJ bersamaan dengan lahirnya anak-anak Zi yang ramai.

Kolabton Nawalem
plot/ seri 02/ eps.005: TEROR/ post: #006. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/033-1600.html

8/11/10

#044: 1602

kupapah Prada kembali ke kamarnya, dua wanita yang kamarnya di sudut lantai berdiri dengan tatapan kosong, menyeruput rokok untuk mengusir cemas yang tak bisa disembunyikan raut wajah masing-masing. Kolab dan Ziantine memilih untuk kembali masuk kamar, entah menandas ranjang atau begitu takut atas kejadian aneh yang terjadi pagi ini.

“mana mungkin di lantai ini ada bekas anggota mereka Jek?” tanya Prada gemetar saat kubaringkan ia di tempat tidurnya. kutahu jelas, maksud Prada adalah organisasi massa Front Kepala Kambing, sekumpulan preman pembikin onar yang punya hobi sweeping. dengan peci bertanduk kambing, mereka berkedok membela hukum agama, tapi sejumlah media mengindikasikan mereka sebagai sekte pemuja setan dengan sesaji kepala kambing.

Prada jelas masih ingat mereka, tepat setahun lalu aku mengantarnya interview ke seorang perancang busana terkenal, ketika sekumpulan orang berpeci kepala kambing meringsek masuk ke rumah sang desainer, di mana kami berdua terjebak di dalamnya. mereka menganiaya desainer tersebut hingga babak belur. kami selamat karena ketika mereka datang, langsung ambil wudhu dan pura-pura sholat, peduli setan meski Prada menganut Nasrani, yang penting kami selamat.

massa yang menamakan Front Kepala Kambing tersebut menuduh sang desainer sebagai cikal bakal menjamurnya homoseksual di negara ini. organisasi massa yang didirikannya Koboi Brokbek menjadi rumah aspirasi yang kuat bagi kaum pecinta sesama jenis tersebut untuk berani tampil. kalau tak salah slogan Koboi Brokbek adalah ‘now we’re visible’. jadi ingat karena beberapa orang yang masuk ke rumah dan menganiaya perancang busana tersebut memakai baju bertuliskan, ‘visibel itu imposibel’. aku jelas, jadi sebel.

sampai sekarang aku tak pernah takut pada organisasi tersebut, bahkan setelah teror ini. tinggal pura-pura sholat saja, ah kejadian setahun lalu itu selalu aku ingat. kejadian penyerangan itu adalah awal dari serangkaian chaos yang dikreasi oleh ormas tersebut di seluruh penjuru negeri. sampai kini, baik pemerintah maupun polisi, seperti tak punya taring untuk mengembalikan mereka ke neraka.

para aktor intelektual ormas tersebut, menurut berita di sebuah media massa, terdiri dari beberapa orang yang saling menjaga rahasia. sekali masuk takkan pernah bisa keluar, persis seperti tulisan yang tertera di dinding lobi lantai. sistem kerja mereka seperti intelejen, tak pernah bertemu satu sama lain, tapi mampu mengolaborasi serangkaian chaos yang membuat banyak kaum minoritas di negeri ini pontang-panting ketakutan.

bila kau sering melihat ketua front tersebut seolah-olah yang paling bertanggung jawab atas serangkaian kerusuhan yang diciptakan anggotanya, kau salah. menurut temanku yang merupakan orang dalam media tersebut, aktor-aktor intelejen yang junlahnya tak lebih dari lima orang tersebut disebut-sebut memiliki kedudukan lebih tinggi dari sang ketua, bahkan konon lebih tinggi dari kepala polisi negeri ini.

“jadi wajar kalau polisi tak bisa berbuat apa-apa. konon para aktor intelektual ini percaya, kalau kerusuhan-kerusuhan kecil yang mereka cipta, adalah tumbal demi mencegah kerusuhan besar yang bisa menghancurkan negeri ini. terserah percaya atau tidak, setiap kali mereka melakukan sweeping akbar, seratus kambing dikurbankan, tapi tak ada yang pernah tahu, dagingnya mengalir ke komunitas fakir yang mana.” papar temanku itu yang seketika membuat bulu ridhoku berdiri.

aku pamit pada Prada dan kembali ke kamar, di luar Flo menungguku untuk bertanya, “apakah kejadian tadi tak perlu dilaporkan ke polisi?” aku menggelengkan kepala sambil menyeret langkah pulang ke kamar. di tengah sesal, ritual menonton FQ jadi gagal. aku berpikir-pikir, mengapa harus setelah Flo datang? atau, apa yang dilakukan Beng di luar kota? atau siapa ayah dari bayi-bayi yang baru dilahirkan Ziantine?

setiap pertanyaan biasa menjadi rasa penasaran yang luar biasa. mereka yang telah kukenal, bukan orang yang benar-benar kukenal, kecurigaan ini, meminta izin untuk menghinggapi cara pandangku terhadap kelima tetanggaku. mungkin juga pada mereka, termasuk terhadapku.

Rasuna Adikara
plot/ seri 02/ eps.005: TEROR/ post: #007. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/08/043-1602.html

#043: 1602

minggu pagi yang cerah ini, harusnya jadi awal dari rangkaian hari yang indah. dengan menampan sepiring waffle dan menjinjing sekotak susu cair, hendak ke lobi, untuk pelototi acara masak ala-ala chef FQ.

ritual pagi masih menjadi gerbang hari yang indah, sebelum kudengar seorang memekik. jerit wanita, milik Prada. jelas kukenali karena lolong itu identik dengan lenguhnya saat kami saling mencicip, beberapa bulan lalu. yang beda, ini jerit ketakutan. suara yang berasal dari depan kamarnya kukira, dengan cepat mengudara ke antero lantai.

pas sekali, aku hendak keluar dan nonton FQ, kupercepat langkah dan dengan sigap membuka kenop pintu yang tak pernah tergantung kunci di lubangnya. kulihat, Prada terduduk lemas di depan dinding kamarnya, menghadap ke lobi lantai tempat ku biasa menonton acara masak favoritku saban minggu.

di lobi lantai itu, kini, dindingnya memerah seperti kena cipratan darah, dan sepenggal kepala kambing digantung terbalik tepat di atas lantai yang digurat gambar bintang dengan lima lilin tertancap di lima titiknya.

terbaca dengan jelas, di sela dinding yang telah berlumuran cat merah serupa darah, sebuah kalimat yang ditulis dengan piloks hitam: ‘SEKALI MASUK, TAK PERNAH BISA KELUAR’. jelas ini bukan peringatan untuk orang yang hendak bercinta.

kepala kambing yang digantung terbalik, bintang segi lima, lilin yang dibiarkan menyala. jelas ini teror, kepada siapa? entahlah. yang pasti terakhir kali membaca berita tentang teror seperti ini, korban ditemukan beberapa minggu kemudian tewas dalam keadaan mengenaskan.

*

dengan dalih mengecek fungsi alat-alat yang ada di sekitar TKP, aku mengambil remota dan menyetel TV, bukan kebetulan bila ketika nyala, FQ ada di layar kaca, aku memindahkannya ketika peralihan dari gelap ke terang saat TV dihidupkan. yang kebetulan itu, FQ minggu ini memasak iga kambing.

tak ada yang rusak, lampu kipas yang digunakan untuk menggantung kepala kambing pun masih berfungsi. lucu ketika melihat kepala kambing tersebut berputar mengelilingi lilin-lilin yang tinggal beberapa senti di atas karpet yang telah dilubangi. ya, hanya karpet itu yang rusak.

logikanya jelas, mereka butuh ubin kayu untuk menggurat bintang lima, dan menyalakan lilin di atasnya. tak aneh kalau tak ada yang rusak, lagipula ini bukan kasus pencurian, ini teror.
satu persatu penghuni lantai keluar kamar, tapi tak ada yang berani mendekati lobi. Kolab muncul dengan mata segaris, jelas ini masih jam tidurnya, Ziantine juga setelah melahirkan anak kembarnya jadi malas bangun pagi. sementara Sherry keluar dengan mengenakan lingerie tipis dan sisir tersangkut di rambutnya yang semrawut.

Flo, penghuni baru di apartemen ini menghardik, “Jeko, jangan sentuh apapun sebelum polisi datang.” aku yang seperempat kaget, menoleh ke arahnya, di tangan kanan menampan sepiring waffle, di tangan kiri menjinjing kotak susu yang sudah tak begitu dingin, “di sini, lebih baik tidak percaya Tuhan daripada percaya polisi!”

woo, aku mengagumi diri sendiri atas ucapanku barusan. ah, andai FQ bisa melihatku dari balik layar kaca. sementara si kepala kambing yang digantung terbalik kini posisinya menghadap televisi, juga menonton FQ. aku membayangkan ia berkata, “oh mungkin yang dipasaknya kini, dulu adalah tulang rusukku. tapi tunggu sebentar, apa itu di balik ketat kaosnya, seratus pasang buah zakar kambing remaja. koki gila.”

pagi yang gila juga bagi seluruh penghuni lantai 16 l’appartemant. eh, tapi mana Beng? astaga, jangan-jangan ini bukan sekadar ancaman, melainkan penculikan.

Rasuna Adikara
plot/ seri 02/ eps.005: TEROR/ post: #006. prev post: -

8/10/10

#042: 1603

via -guiltypleasure


Aku tak tahu apa yang terjadi pada Zi selanjutnya. Sejak kejadian kemarin. Aku memutuskan pergi ke Jakarta untuk jalan-jalan saja. Benar-benar ingin hilang dari peredaran. Memangnya aku pernah beredar? Ada dan tidak toh sama saja, bukan?

*

Setelah sejenak membenahi pakaian dan tetek bengek untuk seminggu di Jakarta, aku menatap kamarku. Di sudut kamarku, antara dapur dan ruang tengah, hinggap seekor kupu-kupu gajah. Darimana mahluk itu datang?

Mata di sayapnya menghipnotisku. Dan lagi-lagi, mahluk itu mengingatkan aku pada sesuatu dari masa lalu. Tapi aku tidak bisa mengingatnya, meski sudah berapa kali kepala ini aku geleng-gelengkan. Tampaknya mesti kujedoti ke tembok baru bisa, tapi yang kulakukan malah membenturkan kepala ke sofa. Mata di sayap itu tetap menatap tajam. Mirip mata Hera di serial Hercules.

Selayang pandang memindai kamar. Bersih. Yang jelas, harus bebas kecoak dan baunya yang santer menendang indera pernapasan. Aku suka meninggalkan tempat tinggalku dalam keadaan rapih. Aku paling bingung dengan orang-orang yang jorok. Abu rokok, puntung, piring- sendok-gelas yang berceceran. Seperti bermain frisbee tapi dengan diri sendiri, terus kelelahan dan membiarkan semuanya sampai waktu yang tidak ditentukan. Hebatnya orang-orang ini bisa bertahan tidur bersama semua sampah itu. Ckckck...

Semua sudah terkunci. Jam dinding menunjukkan pukul 9 pagi. Aku keluar. Di ujung kamar itu, si anak baru keluar dari kamarnya dan masih mengenakan pakaian tidur, menguap, merenggangkan badan, lantas tersenyum. Aku mengangguk seadanya kemudian melayap keluar.

*

Travel. Moda transportasi ekslusif yang sedang menjamur di Bandung. Aku tidak menolak kenikmatan dari menaiki mobil semi pribadi ini. Hening. Setiap orang dalam mobil ini saling cuek. Saat mesin mobil menderu, earphone sudah melakukan pemanasan untuk dicolok ke kuping. Semua orang mendengarkan lagu dari alat elektronik mini yang mereka pegang masing-masing. Aku lebih memilih untuk membaca salah satu novel kesukaanku, "Orang-orang Bloomington" karya Budi Darma.

Senter kecilku menerangi buku yang kupegang erat dan terus bergoyang-goyang seirama dengan langkah mobil. Aku di tengah dan orang di samping kiri dan kanan melihatku dengan tatapan aneh. Aku melhatnya dari sudut mata. Saat aku menoleh, mereka langsung memalingkan muka.

Orang-orang selalu mau tahu urusan orang lain. Tapi Yuri beda.

Dia selalu ingin tahu dengan caranya yang otentik. Pertama kali bertemu dengannya di masa kuliah. Dia jurusan Geologi. Macho, kan? Dia lebih muda tiga tahun dariku. Persis seperti saran bapak dulu, "Carilah perempuan lebih muda tiga-lima tahun darimu. Itu jarak usia yang pantas pasanganmu nanti." Bapak yang kumaksud bukan yang di rumah, tapi pengadopsiku, pak walikota.

Aku dulu sering duduk di sebuah pohon, dekat aula barat ITB. Melihat orang-orang bermain basket dari kejauhan atau baca buku atau menggambar. Aku selalu senang melihat orang bermain basket atau olahraga apapun. Menurutku mereka hebat bisa melatih badannya dan jungkir balik dalam olahraga. Jiwa mereka pun kompetitif. Tidak sepertiku yang lebih memilih menyendiri dan sesekali merokok untuk mengisi sunyi. Terkadang asap rokok terlihat membentuk tubuhnya sendiri dan menari-nari. Hanya hal sepele seperti itu yang menghiburku.

Suatu hari, di tahun keempatku di kampus, saat duduk di spot favorit, aku melihat seorang perempuan bermain basket dengan teman-temannya. Gaya mainnya tidak grasak-grusuk seperti perempuan lainnya. Dia elegan. Tubuhnya dalam kostum basket, keringat itu, wajah yang terlihat bersemangat itu. Semuanya paduan yang sempurna. Entah bagaimana, mata kami bertemu. Dia tidak segera memalingkan wajahnya, dan entah bagaimana juga aku sempat bertahan lama melihatnya. Biasanya tiga detik saja bertatapan dengan perempuan aku sudah kalah. Mukaku serasa lepas dalam momen seperti itu, tapi tidak terhadapnya.

Lama-lama aku tahu jadwal bermainnya, tapi aku cuma berani melihatnya dari jauh. Sembari sembunyi di balik buku atau sketsa. Tiba-tiba pada suatu sore, buku yang kubaca ditarikseseorang. Yuri. Aku gugup tapi tidak bertahan lama.

"Ini buku bagus ya? Tentang apa sih? Kayaknya kamu sering baca di sini apalagi sambil pasang tampang serius," ujar Yuri berturutan. Aku beritahu padanya tentang jeroan buku itu dan pengarangnya. Dia manggut-manggut pura-pura terlihat tahu tapi tetap pasang tampang tertarik. Susah dijelaskan. Itulah awal perkenalanku dengan Yuri. Selanjutnya kami lebih sering bertemu.

Semakin jauh mengenal Yuri, aku tahu bahwa dia itu tidak pernah membaca apapun selain materi perkuliahan. Orang-orang pragmatis dan terlalu lurus. Kuliah, belajar, nilai bagus, lulus ingin kerja di perusahaan besar, hidup makmur, punya anak, tua, mati. Seperti itu. Kesamaan kami hanya satu: jorok alias jomblo sejak orok. Aku syok pertama kali mendengar itu. Dari gayanya tidak mungkin anak itu tak pernah pacaran. Dia mengaku sering menolak laki-laki yang mendekatinya. "Sejak SD sampai sekarang," katanya waktu itu. Yuri tak mau hubungan coba-coba, apalagi tidak kenal lalu bisa jadi pasangan. "Abege betul!" repetnya. Aku cuma tertawa kecil.

***

Perutku berontak. Lapar. Pun tidak bisa seenaknya bilang "Kiri, Pak" lalu turun dan beli cemilan di area istirahat AC di mobil ini pun dingin. Semua semakin menekan lambung plus membuatku flu. Ditambah aku sering begadang dan tidur pun tidak pernah tuntas karena mimpi-mimpi aneh belakangan ini.


"HATCHIIMM!!"

Benda hijau cair sebesar kelereng melompat mulus dari rongga antara hidung dan mulutku dan dia mendarat tepat entah dimana. Orang-orang yang sebelumnya kaget karena bersinku, malah jadi jijik setelah, aku rasa, melihat ingusku yang sebesar kelereng gigantisme terbang bak superman menolong Louis Lane.

Berhubung aku masih baca buku dan pegang senter, pura-pura saja baca buku. Di sudut mata, aku melihat ingusku di lantai mobil dekat kaki kananku. Ya pura-pura saja gesek-gesek. Malu. Sial...

Langa Beng Otanga
plot/ seri 02/ eps.003: BIBIT PSIKOPAT DI KEBUN SINGKONG/ post: #010. prev post: -

INTERMEZZO : ZETLAMAT DATANG KEMBALI!

samlekum, lama tak bersua, setelah semua bermuara di persalinan Ziantine, kisah season pertama berakhir dengan suka. tapi masih ada kunci-kunci misteri yang belum terbuka. masih ada karakter-karakter yang belum kita selami lautnya, belum kita daki gunungnya. petualangan kita masih panjang, maka saya mengucapkan kembali selamat datang.

di l'appartemant 16 season 2 (baca: season ramadhan). siapkan kolak, mari menulis dan bergolak. ramadhan tak membuat kita puasa kata. mari isi sahur dengan fiksi-fiksi yang menghibur. tukang tambal ban gak boleh dandhan, marhaban ya ramadhan.