Lantai 16

7/19/10

#040: 1605

in this story: Kolabton Nawalem, Ziantine Larasati


Aku terduduk lemah. Akhirnya aku berhasil menyelamatkan Zi dan ketiga anak kembar yang di kandungnya meskipun mereka, baik ibu maupun anak-anak, sangat lemah dan sangat butuh perhatian intensif. Aku hanya bisa memandangi kedua jemari tanganku yang bersih dan steril. Sarung tangan karet sudah tidak berada di sana lagi. Aku yang masih berpakaian atribut operasi lengkap hanya bisa terdiam.


Ah, aku kembali ke dunia ini. Dunia semuku. Kalau bukan karena desakan dari Kolabton _itu nama seniman nyentrik yang aku ajak bicara tempo hari dan, dan, dan telpon darinya. Ayahku.


*


.Sehari sebelumnya.


"Jadi begitu, menurutmu, aku datang gak ya ke kawinan Eibi?" aku menodong pertanyaan kunci, setelah menceritakan masalahku, mengapa bisa jadi rumit, menurutku, dari awal hingga sekarang kepada Kolabton yang masih asik memetik-metik senar gitarnya. Sesekali ia berhenti sebentar, seperti memikirkan sesuatu, lalu mulai memetik gitar lagi. Aku tidak tahu apakah dia mendengarkan semua ceritaku, aku tidak peduli, Aku hanya ingin menumpahkan segala yang ada dipikiranku, yang sudah terlalu penuh, hingga mampat, bumpat.


Kolab menyeruput kaleng birnya hingga bir itu habis, meremas kaleng itu, kemudian melemparnya entah kemana. Sraak! Oh, rupanya masuk ke tempat sampah yang berupa plastik hitam besar sekitar 2 meter didepannya.


"Permisi," sapa sebuah suara dari pintu "Oh kamu di sini juga, Sher?" katanya lagi. Aku menoleh.


"Eh, Prada. Iya nih, lagi cerita-cerita aja sama Kolab. Tadinya mau cerita ke kamu, tapi kamunya belum pulang tampaknya," jawabku. Aku kembali meneruput kaleng birku yang isinya sudah mau habis.


"Oh, tadi ke rumah sakit,"


"Iya si Kolab ini juga baru cerita. Semoga Zi baik-baik saja ya." kataku sambil menoleh ke tempat Kolab bersemayam. Kolab masih saja memetik-metik senar gitarnya.


"Kolab, ini kameramu. Terima kasih banyak ya," kata Prada seraya menaruh tas yang berukuran sedang di atas meja pantry.


"Sip. Sama-sama. Kalau perlu apa-apa lagi. Tinggal kesini aja. Ga usah ragu-ragu lah," ujar Kolab kemudian.


"Oke. Aku ke kamar ya. Sher, aku ke kamar ya. Kamu kalau ada apa-apa, ke kamar aja. Oke?" kata Prada kepadaku, "Oh! hampir lupa! Kamu sudah baca artikel-artikelku?"


"Belum semuanya. Tadi baru sekilas-sekilas saja. Terima kasih ya! Pasti aku baca," jawabku lagi. Pradapun berlalu. Suasana pun hening kembali. Tadi suasana cukup ramai dengan kedatangan Prada, soalnya dari tadi hanya aku saja yang bicara. Tapi aku lebih suka seperti itu.


"Gak usah datang saja," kata Kolab tiba-tiba. Aku sampai kaget. "Kamu bilang tadi kamu apa?" tanyanya kemudian.


"Apa?" aku tidak mengerti.


"Profesimu, kamu bilang tadi profesimu apa?" tanyanya lagi.


"Oh.. emm.. Dokter. Aku dokter bedah. Tapi aku tidak suka pekerjaan itu," kataku.


"Tolong CJ, gimana?" ujar dia, masih santai.


"Apa itu CJ?" aku benar-benar tidak mengerti. Orang ini memang susah dimengerti. BIcara dengan bahasanya sendiri. Seru sekali.


"CJ, anak yang ada di dalam kandungan Zi, aku punya firasat, operasi nanti akan gagal, dan aku punya firasat, kamu yang bisa menolongnya," katanya lagi. Kali ini dia pindah duduk ke tempat tidur gantungnya.


"Ah, aku sudah hampir 6 bulan tidak pegang pasien, bisa bahaya, lagi pula, kadar alkohol dalam darahku sangat tinggi, bisa sangat beresiko kala sewaktu2 aku terkena serangan jantung," pungkasku asal. Soal alkohol aku serius.


trrrrrrrrrrrt… trrrrrrrrrrrrt..


Ponsel dikantong celana pendekku bergetar. Pada layarnya tertera nomor tidak di kenal. Aku paling malas menjawab telpon tidak di kenal. Maka aku reject saja. Baru aku mau bicara membela diri dan menanyakan mengapa dia menyuruh aku untuk tidak datang ke perkawinan Eibi ponselku kembali bergetar. Masih nomer yang sama. Ku reject lagi. Bergetar lagi. Ku reject lagi. Yang kesekian kalinya rupanya ada nama di layar ponselku. Namanya: Ayah.


"Ayah?" tanyaku pelan-pelan ketika menangkat telpon itu. Aku takut disembur api yang keluar dari mulut Ayah, meskipun aku tahu, api itu tidak akan keluar lewat speaker ponseku, api tidak merambat dari sinyal telepon. Tapi aku tetap saja takut.


"Bi, ini ayah.." kata suara diseberang sana. Masih seperti terahir aku bicara padanya, suara berat, akibat pengaruh nikotin yang ia hisap dari ia kecil, dan sedikit pengaruh alkohol yang sering dia minum dulu, sekarang sudah tidak. Dia memanggilku dengan Bi, nama kesayangannya, diambil dari namaku yang lain, selain Sherry, tapi aku lebih suka namaku Sherry saja.


"Ya, ayah. Ada apa ayah tiba-tiba menelepon? Ayah sehat-sehat?" tanyaku sesopan mungkin.


"Ayah ingin minta sesuatu sama kamu, Bi. Kamu bisa ke kantor ayah kan? Sekarang. Ayah dengar dari mamamu, kamu di Bandung," kata ayah. Tanpa menanyai kabarku, sehat atau tidak, apa yang sedang aku risaukan, ah, ayah.


"I..iya Ayah aku di Bandung, tapi, kenapa mendadak?" aku tidak tahu mengapa aku tidak pernah bisa berbohong kepada ayah. Kolabton meperhatikanku, mungkin dia heran melihat perubahan mimik mukaku, seperti orang habis menginjak kotoran.


"Ayah tunggu," kemudian ayah menutup telpon. Begitu saja. Ayah, masih seperti dulu. Keras. Dan aku juga masih saja seperti yang dulu. Tidak bisa membantah ayah. Satu-satunya yang pernah aku lakukan adalah berhenti bekerja dan kabur ke Bandung. Bodohnya aku, ayahku kan juga bekerja di salah satu rumah sakit di Bandung. Fuk.


Aku bengong, kemudian balik memandang Kolab, dan Kolab sudah terseyum, memandangku. Ah?



*


Anak buah ayah gagal operasi pasiennya. Ayah, dokter ahli bedah terkenal dan sangat disegani Ikatan Doker Bedah di Indonesia sudah pensiun beberapa tahun yang lalu, ia sudah terlalu tua untuk mengoperasi orang, paling ayah ikut rapat dan diskusi penanganan kasus suatu pasien. Kali ini, anak kesayangan Ayah, Willy, yang juga sepupuku ternyata gagal mengoperasi seorang wanita yang terkena trauma pada rahimnya, dan ia sedang hamil 18 minggu.


Dari dulu ayah selalu membanggakan Willy. Willy lebih tua 3 tahun dariku, dia seorang dokter bedah yang cukup baik, prestasi di sekolah maupun ditempatkuliah sangat membanggakan, sama seperti ayah waktu muda. Aku, yang juga seorang dokter bedah, prestasiku biasa-biasa saja, susah payah aku mengejar gelar itu. Aku tidak tahu apakah ayah bangga padaku atau tidak. Beliau hanya diam mengetahui prestasiku yang biasa-biasa saja. Waktu aku mengikuti upacara sumpah dokter, ayah tidak hadir.


Sekarang ayah mengutus aku untuk menggantikan Willy. Susah payah aku membujuk ayah, bilang kalau aku sudah lama tidak pegang pasien, dan lain-lain. Ayah tetap pada pendiriannya.



*


Aku masih memandangi jemari dan tanganku. Aku juga masih duduk di kursi panjang di ruang tunggu depan kamar operasi. Kugerak-kegerakan jemari-jemariku. Pintu ruang operasi terbuka, kulihat ayah keluar dengan mengenakan baju operasi sama sepertiku. Ayah mendekatiku. Kemudian ayah menepuk pelan punggungku. Sepersekian detik aku merasa lewat senduhan itu ada cairan gaib yang menjalar dari punggung hungga ujung jari tangan dan kakiku. Dalam diam ia berlalu dan pergi meninggalkanku.


Aku memandangi punggung ayah, punggung yang dulu aku lihat sangat tegap, kuat, kini sudah tidak lagi. Punggung itu lelah, dan jengah. Dan pipiku pun menghangat.


Sherry
plot/ seri 01/ eps.002: SHERRY/ post: #005. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/in-this-story-kolabton-nawalem-aku.html

No comments:

Post a Comment