Lantai 16

7/21/10

#041: 1606

Kedatanganku ke rumah sakit ini bukan disengaja. Aku tak kenal dekat dengan calon Ibu itu. Baru sebatas tahu nama, dari perkenalan singkat kami di depan pintu 1602. Bahkan dengan dengan penghuni lainnya pun aku belum sempat menyapa satu-persatu . Penghuni pertama yang berinteraksi denganku adalah Sherry, perempuan bertubuh seksi dengan rambut coklat keemasan itu, saat aku nyaris hipotermia. Dan kemarin, aku berkenalan dan ngobrol panjang lebar dengan Rasuna. Hmm siapa itu nama panggilannya, aku lupa. Oya, Jeko. Sisanya, aku belum sempat bertemu atau bertegur sapa. Namun, kejadian seperti ini – bencana alam, kecelakaan di jalan raya, bahkan kecopetan pun – sering membuat kita mengabaikan hubungan personal dengan orang yang mengalaminya. Hubungan yang terjadi hanya satu: sebagai sesama manusia, yang masih punya rasa iba. Mahluk sosial.

Aku tahu bahwa Ziantine masuk rumah sakit saat seorang perempuan (lagi-lagi) cantik dan modis tak sengaja berpapasan denganku di tangga. Saat itu aku hendak naik ke lantai 16 sehabis membeli beberapa perabotan untuk di ruang baruku itu. Perempuan itu tergopoh-gopoh menuruni tangga, tubuhnya sempat menyenggol bahu kananku. Dan walhasil, membuat barang-barang yang ku bopong jatuh berhamburan di lantai.

“Maaf aku buru-buru,” ujarnya. Aku tersenyum. “Tak masalah,” ujarku singkat.
“Sebentar!” suaranya tiba-tiba menghentikan kegiatanku yang sedang memungut ember, gayung, bantal, dan peralatan rumah tangga lainnya.
“Ya, ada apa?”
“Kau penghuni baru di lantai 16 ya? Tetangga kita, Ziantine, si ibu hamil, masuk rumah sakit, katanya kritis, pendarahan. Oya dia di Rumah Sakit Hermina. Kau datang saja nanti ke UGD atau ke costumer servicenya. Aku tak tahu ia di rawat di bagian mana. Kau mau ikut ke sana?” Perempuan itu bicara dengan cepat dan detil.

“Ya. Ah tapi silakan kau duluan, aku nanti menyusul dengan taksi. Aku perlu taruh barang-barang ini ke kamarku dulu,”
“Okay, see u there,” ia melambaikan tangan.

*

Sayang, aku tak bisa membantu apa-apa. Ingin mengirimi Zi doa, tapi aku tak tahu harus memajatkan doa kepada siapa? Teringat perbincangan dengan temanku, saat diriku mulai masuk fase meragukan Tuhan.

“Lantas, jika aku putus asa dan aku tak bisa berbuat apa-apa, aku harus berdoa kepada siapa?”. Temanku hanya menjawab, doa itu sebagai bentuk pengharapan, kamu meletakkan harapan itu dan membiarkan harapan itu berjalan dengan sendirinya. Atau jika kamu menganggap doa adalah bagian dari spiritual, kau percayakan saja harapanmu itu mengalir melalui energi yang tak kasat mata, energi di luar kendalimu.

Ahh, sudahlah, pikiran flashback ini akan tambah membuat ku terdiam semakin lama. Setidaknya, kali ini aku menaruh doaku, harapanku kepada faktor eksternal dan internal di luar diriku. Yaitu, energi alam raya yang tak kasat mata dan dokter yang sedang melakukan operasi itu. Doaku, biarkan calon ibu itu selamat, biarkan dia tetap hidup, meski harus menelan pil pahit seumur hidupnya: kehilangan anaknya yang belum sempat ia timang.

Aku menghampiri Jeko. Mata dan hidungnya memerah, bekas menangis. Ahh ternyata pria ini punya empati yang luar biasa. Di samping Jeko, berdiri dua orang pria – yang aku tak tahu namanya itu – berusaha menenangkan Jeko. Tak jauh dari mereka, berada perempuan yang memberi tahu ku kabar buruk yang dialami Ziantine.

Di sela menunggu kabar terakhir Ziantine, perempuan itu tampak sibuk berkutat dengan notebooknya. Jemarinya menari lihai di atas tombol-tombol huruf notebook itu. Hmmhh tampaknya ia perempuan yang punya kerjaan padat, pikirku.

Meski kami belum mengenal satu sama lain, tapi aku yakin perasaan kami saat ini sama. Sama-sama mengharap agar Ziantine, selamat. Meski aku belum lihat satu batang hidung keluarga Ziantine atau suaminya, tapi aku merasa energi harapan di antara kami – para penghuni appartemant – cukup besar untuk keselamatan Zi.

Florisia Rainarki
plot/ seri 01/ eps.004: SI CALON JANIN/ post: #005. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/029-1606.html

7/19/10

#040: 1605

in this story: Kolabton Nawalem, Ziantine Larasati


Aku terduduk lemah. Akhirnya aku berhasil menyelamatkan Zi dan ketiga anak kembar yang di kandungnya meskipun mereka, baik ibu maupun anak-anak, sangat lemah dan sangat butuh perhatian intensif. Aku hanya bisa memandangi kedua jemari tanganku yang bersih dan steril. Sarung tangan karet sudah tidak berada di sana lagi. Aku yang masih berpakaian atribut operasi lengkap hanya bisa terdiam.


Ah, aku kembali ke dunia ini. Dunia semuku. Kalau bukan karena desakan dari Kolabton _itu nama seniman nyentrik yang aku ajak bicara tempo hari dan, dan, dan telpon darinya. Ayahku.


*


.Sehari sebelumnya.


"Jadi begitu, menurutmu, aku datang gak ya ke kawinan Eibi?" aku menodong pertanyaan kunci, setelah menceritakan masalahku, mengapa bisa jadi rumit, menurutku, dari awal hingga sekarang kepada Kolabton yang masih asik memetik-metik senar gitarnya. Sesekali ia berhenti sebentar, seperti memikirkan sesuatu, lalu mulai memetik gitar lagi. Aku tidak tahu apakah dia mendengarkan semua ceritaku, aku tidak peduli, Aku hanya ingin menumpahkan segala yang ada dipikiranku, yang sudah terlalu penuh, hingga mampat, bumpat.


Kolab menyeruput kaleng birnya hingga bir itu habis, meremas kaleng itu, kemudian melemparnya entah kemana. Sraak! Oh, rupanya masuk ke tempat sampah yang berupa plastik hitam besar sekitar 2 meter didepannya.


"Permisi," sapa sebuah suara dari pintu "Oh kamu di sini juga, Sher?" katanya lagi. Aku menoleh.


"Eh, Prada. Iya nih, lagi cerita-cerita aja sama Kolab. Tadinya mau cerita ke kamu, tapi kamunya belum pulang tampaknya," jawabku. Aku kembali meneruput kaleng birku yang isinya sudah mau habis.


"Oh, tadi ke rumah sakit,"


"Iya si Kolab ini juga baru cerita. Semoga Zi baik-baik saja ya." kataku sambil menoleh ke tempat Kolab bersemayam. Kolab masih saja memetik-metik senar gitarnya.


"Kolab, ini kameramu. Terima kasih banyak ya," kata Prada seraya menaruh tas yang berukuran sedang di atas meja pantry.


"Sip. Sama-sama. Kalau perlu apa-apa lagi. Tinggal kesini aja. Ga usah ragu-ragu lah," ujar Kolab kemudian.


"Oke. Aku ke kamar ya. Sher, aku ke kamar ya. Kamu kalau ada apa-apa, ke kamar aja. Oke?" kata Prada kepadaku, "Oh! hampir lupa! Kamu sudah baca artikel-artikelku?"


"Belum semuanya. Tadi baru sekilas-sekilas saja. Terima kasih ya! Pasti aku baca," jawabku lagi. Pradapun berlalu. Suasana pun hening kembali. Tadi suasana cukup ramai dengan kedatangan Prada, soalnya dari tadi hanya aku saja yang bicara. Tapi aku lebih suka seperti itu.


"Gak usah datang saja," kata Kolab tiba-tiba. Aku sampai kaget. "Kamu bilang tadi kamu apa?" tanyanya kemudian.


"Apa?" aku tidak mengerti.


"Profesimu, kamu bilang tadi profesimu apa?" tanyanya lagi.


"Oh.. emm.. Dokter. Aku dokter bedah. Tapi aku tidak suka pekerjaan itu," kataku.


"Tolong CJ, gimana?" ujar dia, masih santai.


"Apa itu CJ?" aku benar-benar tidak mengerti. Orang ini memang susah dimengerti. BIcara dengan bahasanya sendiri. Seru sekali.


"CJ, anak yang ada di dalam kandungan Zi, aku punya firasat, operasi nanti akan gagal, dan aku punya firasat, kamu yang bisa menolongnya," katanya lagi. Kali ini dia pindah duduk ke tempat tidur gantungnya.


"Ah, aku sudah hampir 6 bulan tidak pegang pasien, bisa bahaya, lagi pula, kadar alkohol dalam darahku sangat tinggi, bisa sangat beresiko kala sewaktu2 aku terkena serangan jantung," pungkasku asal. Soal alkohol aku serius.


trrrrrrrrrrrt… trrrrrrrrrrrrt..


Ponsel dikantong celana pendekku bergetar. Pada layarnya tertera nomor tidak di kenal. Aku paling malas menjawab telpon tidak di kenal. Maka aku reject saja. Baru aku mau bicara membela diri dan menanyakan mengapa dia menyuruh aku untuk tidak datang ke perkawinan Eibi ponselku kembali bergetar. Masih nomer yang sama. Ku reject lagi. Bergetar lagi. Ku reject lagi. Yang kesekian kalinya rupanya ada nama di layar ponselku. Namanya: Ayah.


"Ayah?" tanyaku pelan-pelan ketika menangkat telpon itu. Aku takut disembur api yang keluar dari mulut Ayah, meskipun aku tahu, api itu tidak akan keluar lewat speaker ponseku, api tidak merambat dari sinyal telepon. Tapi aku tetap saja takut.


"Bi, ini ayah.." kata suara diseberang sana. Masih seperti terahir aku bicara padanya, suara berat, akibat pengaruh nikotin yang ia hisap dari ia kecil, dan sedikit pengaruh alkohol yang sering dia minum dulu, sekarang sudah tidak. Dia memanggilku dengan Bi, nama kesayangannya, diambil dari namaku yang lain, selain Sherry, tapi aku lebih suka namaku Sherry saja.


"Ya, ayah. Ada apa ayah tiba-tiba menelepon? Ayah sehat-sehat?" tanyaku sesopan mungkin.


"Ayah ingin minta sesuatu sama kamu, Bi. Kamu bisa ke kantor ayah kan? Sekarang. Ayah dengar dari mamamu, kamu di Bandung," kata ayah. Tanpa menanyai kabarku, sehat atau tidak, apa yang sedang aku risaukan, ah, ayah.


"I..iya Ayah aku di Bandung, tapi, kenapa mendadak?" aku tidak tahu mengapa aku tidak pernah bisa berbohong kepada ayah. Kolabton meperhatikanku, mungkin dia heran melihat perubahan mimik mukaku, seperti orang habis menginjak kotoran.


"Ayah tunggu," kemudian ayah menutup telpon. Begitu saja. Ayah, masih seperti dulu. Keras. Dan aku juga masih saja seperti yang dulu. Tidak bisa membantah ayah. Satu-satunya yang pernah aku lakukan adalah berhenti bekerja dan kabur ke Bandung. Bodohnya aku, ayahku kan juga bekerja di salah satu rumah sakit di Bandung. Fuk.


Aku bengong, kemudian balik memandang Kolab, dan Kolab sudah terseyum, memandangku. Ah?



*


Anak buah ayah gagal operasi pasiennya. Ayah, dokter ahli bedah terkenal dan sangat disegani Ikatan Doker Bedah di Indonesia sudah pensiun beberapa tahun yang lalu, ia sudah terlalu tua untuk mengoperasi orang, paling ayah ikut rapat dan diskusi penanganan kasus suatu pasien. Kali ini, anak kesayangan Ayah, Willy, yang juga sepupuku ternyata gagal mengoperasi seorang wanita yang terkena trauma pada rahimnya, dan ia sedang hamil 18 minggu.


Dari dulu ayah selalu membanggakan Willy. Willy lebih tua 3 tahun dariku, dia seorang dokter bedah yang cukup baik, prestasi di sekolah maupun ditempatkuliah sangat membanggakan, sama seperti ayah waktu muda. Aku, yang juga seorang dokter bedah, prestasiku biasa-biasa saja, susah payah aku mengejar gelar itu. Aku tidak tahu apakah ayah bangga padaku atau tidak. Beliau hanya diam mengetahui prestasiku yang biasa-biasa saja. Waktu aku mengikuti upacara sumpah dokter, ayah tidak hadir.


Sekarang ayah mengutus aku untuk menggantikan Willy. Susah payah aku membujuk ayah, bilang kalau aku sudah lama tidak pegang pasien, dan lain-lain. Ayah tetap pada pendiriannya.



*


Aku masih memandangi jemari dan tanganku. Aku juga masih duduk di kursi panjang di ruang tunggu depan kamar operasi. Kugerak-kegerakan jemari-jemariku. Pintu ruang operasi terbuka, kulihat ayah keluar dengan mengenakan baju operasi sama sepertiku. Ayah mendekatiku. Kemudian ayah menepuk pelan punggungku. Sepersekian detik aku merasa lewat senduhan itu ada cairan gaib yang menjalar dari punggung hungga ujung jari tangan dan kakiku. Dalam diam ia berlalu dan pergi meninggalkanku.


Aku memandangi punggung ayah, punggung yang dulu aku lihat sangat tegap, kuat, kini sudah tidak lagi. Punggung itu lelah, dan jengah. Dan pipiku pun menghangat.


Sherry
plot/ seri 01/ eps.002: SHERRY/ post: #005. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/in-this-story-kolabton-nawalem-aku.html

#039: 1604

in this story: Kolabton Nawalem, Sherry.

*Plop*
Mendadak ada sms masuk ke blackberryku. Pesan singkat dari atasanku. Prada, besok temani saya meeting ya! Ada penawaran dari klien baru. Saya tunggu di Patra Jasa pukul 9 pagi. Bisa dibilang saya termasuk anak emas Bos Ratu. Begitu kami memanggil Pemimpin Redaksi kami. Tidak ada yang bisa menolak permintaannya, bahkan dia terkesan tidak pernah meminta, semua diputuskan olehnya. Kadang menyebalkan, namun apa mau dikata, toh dia atasanku.

Sebagai "anak emas" Bos Ratu, aku selalu diberikan privilege lebih di antara teman-teman sekantor. Kadang aku bisa memutuskan sendiri apa yang mau kuliput, bahkan pernah beberapa kali aku yang menetapkan isu untuk satu edisi.

Baik, bu. Selamat malam. *SMS sent*

Kulirik orang-orang sebelahku, terlihat sekali mereka gelisah, terlebih lagi Jeko. Sudah terlalu malam. Aku harus pulang. "Aku pulang duluan ya? Besok ada meeting pagi, aku tidak boleh telat untuk hal ini. Jeko, kamu baik-baik saja kan? Tenang, Zi pasti baik-baik saja," ujarku sambil tersenyum pada Jeko. Jeko masih belum banyak bicara. Hanya enam patah kata. "Iya, kamu hati-hati di jalan," ujar Jeko.

Setelah pamit kepada semua orang yang masih menemani Jeko, aku pun beranjak ke arah pintu keluar. Tiba-tiba. "Prada!" Ada yang memanggilku. Oh ternyata si hippies. "Ya?" "Aku juga mau pulang, biasa jadwal ngamenku sebentar lagi. Tenang, si Jon sudah kubayar untuk menemani Jeko takut mendadak perlu apa-apa," imbuh si hippies alias Kolab. Itu nama aslinya. "Baiklah," ujarku sambil tersenyum. Dan kami pun meninggalkan Hermina menuju Seguni.

Kami memutuskan untuk naik taksi. Beruntung ada taksi yang baru saja menurunkan penumpang di lobi. Segera kami stop untuk ditumpangi.

"Oh iya, maaf yaa kameranya belum dikembalikan. Masih belum saya transfer foto-fotonya ke laptop saya," ujarku memecah keheningan taksi ini.
"Ohh iya ga papa, lagipula kan saya sudah bilang, saya punya banyak kamera. Jadi kalau cuma satu yang dipinjam sih ga masalah. Kalau semuanya baru, sayanya kelabakan. Hahahahaha," si hippies ternyata periang. Bisa kunilai dari gelak tawanya yang begitu lepas. "Jadi, bagaimana Solo?"
"Solo menyenangkan. Pekerjaan di sana lancar, thanks to your camera," ujarku sambil tersenyum.
"Hahahaha, sama-sama. Senang bisa ngebantu kok. Tadinya saya mau ke Solo juga, cuma ga jadi."
"Loh? Mau ke Solo juga? Kenapa ga jadi?"
"Iya, ga jadi aja, hehehhee.. CJ mendadak bilang ga usah kesana, jadi ga jadi deh,"
"CJ?"
"Itu, si calon janin Zi. Dia sering main ke kamarku. Dia temanku, bahkan terkadang jadi penasehatku," Kolab tidak berhenti tertawa. Semua perkataannya diselipkan dengan tawa. Namun ia mendadak tertunduk. "Semoga CJ baik-baik saja ya. Dia bilang sih dia baik-baik saja. Semoga dia benar." Mendadak raut muka si hippies sedikit tertekuk.
"Aku yakin mereka baik-baik saja," ujarku sambil tersenyum berharap sedikit meredakan kesedihannya.

Tidak terasa kami sudah sampai di depan Apartemen Seguni. Usai membayar si taksi, kami beranjak pergi menuju lobi. "Mbak Prada, Mas Kolab. Mbak Zi baik-baik saja kan ya?" tanya Susi si gadis lobi. "Tadi masih dioperasi. Semoga semuanya baik-baik saja ya? Kamu berdoa juga ya, Susi," jawabku. "Pasti mbak! Oh iya. Liftnya sudah benar." "Terima kasih yaa, Susi," tuturku sambil meninggalkan Susi.

Kupencet angka 16. Kulirik Kolab, dia masih agak diam, maksudnya, tidak seceria tadi sebelum membahas janin Zi. "Kamu ga papa, Kolab?" tanyaku. "Hm? Oh ga papa, hehehe," jawabnya sambil menyengir. Wah? Cepat sekali perubahan emosinya.

*Ding*

Kami sampai juga di lantai 16. Sepi. Jelas.
"Nanti aku ke kamarmu ya setelah selesai memindahkan datanya," ujarku pada Kolab yang sudah beranjak ke kamarnya.
"Oke," jawabnya singkat.

Kubuka pintu cokelat tuaku. Kulewati pantry yang masih berhiaskan piring dan gelas bekas yang belum dicuci, hmmm mungkin sejak seminggu yang lalu. Si malas masing menggerogotiku. Segera kuberanjak ke meja kerjaku. Letaknya sejajar dengan kasur king size-ku. Nyalakan si toshi, transfer foto, charge PSP, kembalikan kamera, mandi, tidur. Rentetan agenda beberapa menit ke depan sudah sibuk mengantre di kepalaku. Oke, oke, satu-satu.

Dalam hitungan menit, kamera si hippies sudah ada di tanganku. Siap dikembalikan ke si empunya yang punya barang. Beranjaklah aku ke kamar si hippies. Seperti biasa, pintunya terbuka begitu saja. Oh ada tamu ternyata. Hmm, bau ini. Pasti Sherry.

"Permisi," ujarku sambil mengetuk pintu dan masuk. "Oh kamu di sini juga, sher?"
"Eh, Prada. Iya nih, lagi cerita-cerita aja sama Kolab. Tadinya mau cerita ke kamu, tapi kamunya belum pulang tampaknya," tutur Sherry yang asik meneguk bir daritadi.
"Oh, tadi ke rumah sakit,"
"Iya si Kolab ini juga baru cerita. Semoga Zi baik-baik saja ya."
Kolab masih asik menyetem gitar. Sesekali meneguk bir yang semerk dengan yang dipegang Sherry.
"Kolab, ini kameramu. Terima kasih banyak ya,"
"Sip. Sama-sama. Kalau perlu apa-apa lagi. Tinggal kesini aja. Ga usah ragu-ragu lah," ujar Kolab yang masih asik sendiri.
"Oke. Aku ke kamar ya. Sher, aku ke kamar ya. Kamu kalau ada apa-apa, ke kamar aja. Oke?" ujarku seraya meninggalkan mereka berdua. "Oh! hampir lupa! Kamu sudah baca artikel-artikelku?"
"Belum semuanya. Tadi baru sekilas-sekilas saja. Terima kasih ya! Pasti aku baca," jawab Sherry sambil tersenyum. Manis. Semanis wangi parfumnya yang khas itu.

Aku beranjak ke kamarku. Mandi. Tidur. Tinggal dua pengantre di otakku. Selamat malam kalau begitu :)

Prada Prameshwari
plot/ seri 01/ eps.002: SHERRY/ post: #007. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/035-1604.html

#038: 1601

in this story: Kolabton Nawalem

Bau ini... Susah dijelaskan. Tanda aku sudah sampai di Apartemen Seguni. Bangunan yang umurnya tidak terlalu tua. Aku berdiri mematung di hadapan gedung ini. Mataku meneliti kaki hingga kepala bangunan ini. Langit mulai menghitam di ujung sana. Lagi-lagi.. Hm.. Bau sore menjelang malam.

Aku selalu percaya bahwa setiap tempat dan waktu memiliki bau khasnya masing-masing. Susah untuk mendeskripsikannya, hanya bisa dipercayai. Bukankah setiap keyakinan begitu adanya? Kau tidak bisa membuat orang percaya, kecuali tertarik.

Selain itu, aku pun sering merekam periode-periode tertentu dalam hidupku dengan lagu-lagu. Yang masih aku ingat, lagu "Mungkinkah" karya Stinky adalah penanda masa akhir SMA. Dan di televisi, kini, entah bagaimana sang vokalis band tersebut alih profesi jadi pelawak. Ya, komedi adalah sebuah pelarian, komedi adalah hiburan, pun komedi adalah tragedi.

Aku masuk ke dalam apartemen. Ada beberapa orang di lobi. Lagi-lagi nonton tivi. Kali ini tayangan gosip. Cih! Dari matahari baru ngaceng sampai loyo, selalu saja ada gosip. Sesuatu yang tak penting dipaksakan penting. Beritanya pun seputar perceraian, pacaran, dan persetubuhan. Memuakkan. Lagipula mereka bukan artis. Hanya selebritis! Ketimbang aku marah-marah tidak jelas, lebih baik aku menuju kamar. Kali ini aku memilih jalan kaki ke atas, biar lelah dan mandi air panas dengan puas.

Tap.. Tap.. Tap.. Sunyi. Bunyi langkahku bergaung. Dan entah di lantai berapa, aku lihat si hippies tergeletak. Darah menggenangi kepalanya. Rambutnya jadi awut-awutan becek. Kenapa pula dia? Tidak ada orang. Tidak ada OB.

Aku tanya mengapa dia bisa berdarah-darah begitu (seperti manekin aneh di kamarnya). Tak ada penjelasan berarti. Dia malah terlihat tergesa-gesa bagaikan ada semut api di lubang pantatnya.

"Zi di rumah sakit yang searah kiblat!" ujarnya. Hah?! Apa pula rumah sakit searah kiblat? "Melahirkankah?" tanyaku. Wajahku yang kaget pasti terlihat bodoh.

"Tidak tahu," balas si hippies. Dia mengajakku ke rumah sakit. Aku ikut saja, mengingat Zi telah baik kepadaku.

Si hippies merangkulkan lengannya di leherku. Sok akrab. Darahnya menciprati bajuku. Cat plus darah. Corak aneh. Mungkin bisa jadi tren fesyen suatu hari. Hm.. Bau apa ini? Tidak enak betul. Setelah aku intip ke kiri, rupanya itu bau darah kering plus ketiak si hippies. Sial...

Di taksi, aku melamun. Tidak berbicara sama sekali dengan supir maupun pak gondrong di sebelahku. Kontak antar taksi jadi latar suara pengiring perjalanan. Lampu jalan mulai menyala. Pendar kuningnya membawa rindu. Entah rindu terhadap apa, aku pun tak tahu. Sekejap saja sendu. Pepohonan dan orang-orang seakan ditarik secara cepat ke belakang taksi. Langit langsung muram, pertanda malam. Seperti pada kisah "The Phantom Toolbooth". Ajaib.

Tahu-tahunya kami sudah sampai di RS Hermina. Aku membayar taksi karena Kolab (betul kan itu namanya?) hampir kolaps. "Saya belum makan tiga hari, Beng. Tolong belikan bakpau," rengeknya. Tanpa basa basi aku turuti saja. Aku pergi keluar dan mencari tukang bakpau. Selalu ada tukang bakpau di rumah sakit. Adakah penelitian tentang ini? Haha... Selain itu, ada tukang sate dan nasi goreng yang berdiri di gerobak dengan kesibukan masing-masing.

Nah, bakpau sudah tiba. Namun entah mengapa mataku tertuju ke samping gerobak tukang nasi goreng. Sepasang suami istri makan bersama empat anaknya. Si istri membersihkan mulut suaminya yang ada nasinya, dengan tisu. Si istri menggendong seorang putri di dadanya dengan kain bercorak batik. Lalu dua bocah laki-laki yang menggoda adik perempuan mereka. Manis sekali. Sekejut kemudian mereka menoleh ke arahku. Kakiku langsung dingin. Badanku serasa beku.

Wajah mereka mirip keluargaku yang sudah mati, dengan aku yang masih kecil di dalamnya! Mereka menyeringai. Ngeri.

Aku angkat kaki dari tempat itu, meski berat kurasa.

*

Tanganku menyodorkan bakpau itu, tapi rasanya lemas sekali. Bakpau itu jatuh. "Kamu kenapa, Beng?" tanya Kolab, sembari menepuk pundakku. Aku tak bisa menjawab. Hanya diam. Sebuah bau menyeruak. Susah dijelaskan. Memori baru terbentuk melalui kejadian ganjil tadi. Memori yang tak enak, yang akan terus hinggap di kepala...


Langa Beng Otanga
plot/ seri 01/ eps.003: BIBIT PSIKOPAT DI KEBUN SINGKONG/ post: #009. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/034-1603.html

7/18/10

#037: 1601

in this story: Sherry, Rasuna Adikara, Kolabton Nawalem, Prada Prameshwari, Langa Beng Otanga.

Semuanya terang. Terlalu terang hingga aku tak bisa membuka mata. Tapi lamat-lamat kudengar suara-suara disekitarku.

"Ini untuk yang kedua kalinya dia masuk ruang operasi. Ada apa lagi dengan dia?" seseorang menggerutu.

Ruang operasi? Untuk apa aku disini? Untuk yang kedua kalinya pula?

"Jahitan di leher rahim sepertinya membuka, kita akan mencoba menjahitnya lagi" sebuah suara lain yang simpatik terdengar di telingaku.

Jahitan? Leher rahim?? Apa yang terjadi denganku? Aku lantas mencoba mengingat-ngingat. Aku ingat tadi aku menuruni tangga apartemen karena lift rusak, aku ingat bagaimana Jeko menemaniku turun lalu Sherry, perempuan dugem datang menaiki tangga dan....ah aku jatuh, melihat darah, dan aku tidak tahu apa-apa lagi.

Jadi aku pendarahan? Lantas bagaimana dengan janinku? Bagaimana dengan calon anak-anakku? Apakah mereka selamat?

Sambil panik merasakan ini aku merasakan tangan-tangan menggerayangi tubuhku. Seseorang menempelkan sesuatu di dadaku. Di sebelah atas payudara kananku, orang lainnya menempelkan sesuatu di jariku. Meski bisa merasakan tekanan mereka aku tidak lagi merasa apapun. Aku hanya tahu mereka menekanku.

"Siapa yang mengoperasi? Dokter Willy lagi?" suara yang tadi menggerutu bertanya.
"Entahlah, tapi kudengar Dokter Willy sedang meminta bantuan temannya. Katanya ini kasus khusus. Mungkin karena operasi pertama gagal." ini suara yang lain lagi. suara perempuan

Ah, jadi sebenarnya berapa orang sih yang ada di sini? Aku mencoba berpikir. Membedakan suara-suara mereka.

"Kira-kira seberapa cepat dokternya datang?" ini si gerutu lagi bersuara.
"Entahlah, tapi kuharap sesegera mungkin. Pendarahannya harus segera dihentikan. Aku tak tega melihata suaminya yang menangis di ruang tunggu dari operasi pertama tadi. Sekarang kurasa ia masih menagis disana " ini si simpatik lagi

Hmm. Suami?? Mana mungkin suamiku kesini? Ah aku lupa. Aku sudah tak punya suami!

Pintu terdengar terbuka. Wangi yang familiar menyapa penciumanku. Wangi yang begitu manis dan terlalu familiar.

"Ini Dokter Sherry. Dia akan menjadi dokter operasi malam ini, saya akan menjadi asisten dokter. Meski bukan dokter indent saya harap tidak ada yang mempertanyakan kualitas dokter Sherry. Dia mengambil dua spesialisasi di Amerika dan lulus cum laude pada keduanya." suara bariton terdengar.

Dokter Sherry?? Mungkinkah Sherry yang itu?!

"Baiklah operasi kita mulai!" ini suara perempuan...mirip Sherry tetanggaku itu.

Aku merasakan sepasang tangan meraba-raba perut dan bagian bawahku.

"Usia kehamilan 18 Minggu, ibu memiliki pendarahan hebat karena terjatuh, dijahit tapi berdarah kembali" ini si bariton.
"Jahitannya terlepas. Ada yang tidak sempurna saat penjahitan pertama. Teknik Jahit seperti ini tidak akan cukup untuk menopang tiga janin sekaligus. Kita akan membuka kembali jahitan itu" ini suara Sherry. Tegas. dan entah bagaimana cukup menenangkan.

Aku lantas mendengar Sherry meminta alat-alat operasi. Gunting, jarum, benang.

"saya akan melakukan figure of eight suture atau teknik jahit angka delapan untuk menjahit leher rahim. Lapis dalam lapis karena luka cukup dalam. Air ketuban bagus dan janin dalam keadaan sehat."

Aku sangat tenang mendengar janin kembar tigaku sehat-sehat saja. Terserah pada Sherry mau seperti apa dia menjahit mulut rahimku. Yang penting janinku selamat.

Kres kres kres. Aku merasa tekanan-tekanan gerakan di bawah. Tapi hanya tekanan saa. Tidak ada sakit atau apapun.

"Ini jahitan terakhir. Ya! cervial cercleage selesai! Kondisi jantung ibu normal, Tekanan darah normal. Janin sehat. Pasien bisa dibawa ke ruang perawatan"

Dengan itu operasi selesai. Aku bisa merasakan orang-orang mulai membuka apa yang asalnya mereka letakkan di tubuhku. Membuka baju operasiku dan menggantinya dengan baju rumah sakit dengan pelan dan hati sebelum aku dipindahkan menuju ranjang berjalan. Begitu lampu yang sangat terang itu dimatikan, aku membuka mata. Beberapa perawat menoleh dan tersenyum menyadari aku sudah sadar. Atau setengah sadar karean aku belum merasakan dingin, panas atau rasa sakit yang seharusnya datang.

Saat pintu keluar operasi dibuka. Aku melihat Sherry, Jeko, Beng, Prada, Hippies depan kamar dan satu perempuan yang tadi kulihat di depan kamar Jeko. Sherry masih dengan baju operasinya. Aku hanya bisa tersenyum dan menggumamkan terimakasih sebelum mataku memberat. Aku ingin tidur.

Ziantine Larasati
plot/ seri 01/ eps.004: SI CALON JANIN/ post: #005. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/032-1602.html

#036: 1605

in this story: Kolabton Nawalem


Aku butuh teman diskusi. Setelah beberapa bulan belakangan kabur masalah akhirnya hal yang sebelumnya sudah kupikirkan sebelumnya terjadi juga. Aku capek berlari. Aku ingin berhenti, sedikit mengambil nafas, kemudian berjalan seperti biasa. Suapa aku masih bisa menikmati pemandangan disekitarku.


Besok, hari pernikahan Eibi. Datang atau tidak? Sampai sekarang aku masih belum bisa memutuskan. Aku sangat ingin melompat hari esok, aku ingin sekali tidak datang, seharian tidur di kamar, tapi ini EIbi. Hati kecilku masih berusaha untuk menghentikan pernikahan itu. Tapi, kalaupun pernikahan itu tidak jadi terjadi, apakah aku berani menggantikan posisi wanita di sisi Eibi. Apakah aku berani untuk menjadi seorang istri?


Sungguh aku butuh teman diskusi. Dari buku "How to forger you ex in 30 days" mengatakan demikian. Jika anda sudah tidak tahu lagi apa yang ahrus anda lakukan, biar orang lain yang memutuskan. Yeah, bodoh. Tapi toh aku memang bodoh untuk urusan cinta.



Teman.. hmm.. teman… Ah, sudah berapa lama aku tidak bicara dengan orang lain dalam keadaan sadar? Teman lamaku mungkin sudah mengira aku mati bunuh diri. Pikiranku melayang. Siapa temanku…?


*


"Tok tok tok.."


Kuketuk pintu kamar itu. Kamar bernomor 1604. Kamar Prada. Sekitara 30 detik tidak ada jawaban, aku mengetuk pintu itu untuk yang kedua kalinya. Masih belum ada jawaban. Sepertinya tidak ada orang di dalam kamar itu. Kemudian aku berbalik memandang pintu kamar yang berada tepat di depan kamarku. Ah, mantan kamar Dinasti, temanku, dulu, dua bulan yang lalu Dinasti pindah ke Swedia untuk urusan pekerjaan. DIa dulu yang menenangkanku ketika aku hampir mati tercekik sesak napas saking lamanya menangis. Sekarang kamar itu sudah dihuni orang lain.


Kemudian aku mulai berjalan di lorong lantai ini. Melewati lift dan pintu tangga darurat. Berjalan menuju sisi lain lantai 16 ini. Entah apa yang ada dipikiranku. Yang jelas kakiku ini seperti berjalan sendiri. Seperti ada yang menyuruhnya untuk berjalan, tapi bukan saraf motorik otakku. Aku belum pernah berkenalan sebelumnya dengan orang-orang penghuni 16 di sisi ini.


Dari empat kamar yang ada, tiga diantaranya tertutup rapat, satu yang berada di pojok dan berada sama di sisi kamarku pintunya terbuka. Kakiku masih terus berjalan, menuju ke arah pintu yang terbuka. Sesampaiya didepan kamar tersebut, langkahku terhenti. Tanganku memegang kusen pintu. kepalaku mulai bergerak melongok kedalam kamar tersebut sampai setengah badanku ikut masuk.


Masih tidak tahu apa yang ada dipikiranku, aku masuk kedalam kamar itu. Aku memandang berkeliling. Ada banyak, banyak sekali barang barang aneh di sini. Kulihat tempat tidur gantung, dibawahnya tergeletak seonggok gitar busuk. Ada kulkas, tapi entah tahun berapa itu kulkas diproduksi. Seperti jaman kakekku saja. Di langit2nya terdapat jam dinding super besar dan aku tidak habis pikir bagaimana cara memasang benda itu.


Tidak ada orang. aku memilih duduk di lantai dekat tumpukan ___sepertinya piringan-piringan hitam. Karena hanya ditempat itu sepertinya yang bisa diduduki oleh manusia. Kamar ini terlalu berantakan. Bahkan untuk ukuran aku yang sudah termasuk perempuan berantakan. Hmm. Suka musik sekali, ya, nampaknya. Aku mencari pemutar piringan hitam. Masa punya banyak koleksi piringan hitam tapi tidak punya gramophonenya?


Kubongkar tumpukan baju kotor cum sprei cum jaket cum kolor cum selimut yang menumpuk diatas sofa. Dan aku kaget sekaget kagetnya sampai rasanya jantungku jatuh hingga kel ututku. Sesosok mirip manusia yang ternyata adalah manekin botak tergeletak nyaman dibawah tumpukan tersebut. Astaga. Orang macam apa yang tinggal di dalam kamar ini?


Aku memindahkan manekin plus tumpukan laundry ketempat lain sehingga akupun ahirnya bisa duduk di sofa. Baru aku sadar. Ngapain aku ada disini?


"Hei?" tanya sebuah suara dari arah pintu.


"Eh, hai, maaf, pintu kamarku tadi terbuka.. eh? kamu?" sebentar-sebentar, kayaknya aku pernah liat pria yang sekarang sedang mengambil minuman di kulkas, seakan-akan tidak heran ada orang asing di kamarnya. Dan pria ini, dia kan yang waktu itu di tangga darurat?


"Kamu, yang waktu itu tidur di tangga ya?" tanyaku kemudian.



"Hah?" dia nampak bingung, wajahnya muncul dari balik pintu kulkas kemudian mendekatiku sambil membawa dua kaleng bir, memberikannya kepadaku dan mendekatkan wajahnya padaku. "Sherina, ya?" katanya.


"Sherry. Aku Sherry," aku membetulkannya. Wah, ternyata ini kamar seniman aneh ini. Pantes. "Tidak apa-apa kan aku di sini? Sibuk?" tanyaku sambil menyeruput bir yang tadi diberikannya. Ah, segar sekali. Seperti bir yang paling enak di dunia. Aneh.


"Oh.. gak papa.. santai saja. Anggap rumah sendiri. Aku tidak begitu sibuk. Tadi baru saja dari rumah sakit. Zi, kamu kenal Zi? Dia tetangga depan kamarku, tadi terpeleset ditangga darurat" cerocosnya. Dia pun duduk di sampingku, sisi sofa sebelah satunya lagi sehingga kamu bisa berhadap-hadapan, akupu membetulkan posisi dudukku.


"Wah? Gawat kah?" tanyaku spontan.


"Lumayan, tapi CJ bilang dia tidak apa-apa.." ujarnya santai. Kemudian mengambil gitar (oh rupanya gitar itu masih bisa berfungsi) dan mulai memetik-metik benerapa nada.


Aku diam. Tidak mengerti apa yang dikatakannya. Aku rasa orang ini cukup nyentrik. Dan aku rasa orang ini bisa diajak diskusi tentang masalahku. Sudah ada bir lagi ditangan kita berdua. Heheheheheheheheheee….


Sherry

plot/ seri 01/ eps.002: SHERRY/ post: #004. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/029-1605.html


#035: 1604

in this story: Rasuna Adikara, Kolabton Nawalem, Ziantine Larasati, Sherry.

Selesai juga tulisan tentang si Kanker Serviks ini. Lumayan, minggu ini deadline tidak seburu-buru biasanya. Inilah enaknya liputan ke luar kota, aku hanya perlu menyelesaikan beberapa tulisan dari satu isu. Peer tulisan untuk deadline minggu berikutnya pun diberikan kepada orang lain. Sayang, untuk satu edisi belum tentu ada liputan ke luar kota, dan kalaupun ada, dan belum tentu diberikan padaku.

Kuputuskan untuk print tulisan-tulisan tersebut dan akan kuberikan pada Sherry. Ya, Sherry, si gadis yang selalu wangi. Kehadirannya mudah sekali kukenali, bila ada wangi parfum--kadang tercampur bau alkohol--di pelataran apartemen ini, bisa dipastikan itu Sherry.

Nah, sudah ter-print semua. Matikan Toshi, ambil si LV, coat hitam--belakangan ini Bandung terlampau dingin, oh tak lupa si blackberry, mari keluar sekalian cari makan. *Ting, tong.. Ting, tong..* Hmm, mungkin Sherry belum pulang. Kuputuskan untuk menyelipkan kumpulan tulisan ini di bawah lantai pintu Sherry. Kuambil secarik kertas dan kutulis:

Untuk Sherry,

Maaf kalau aku lancang, tapi artikel-artikel ini mungkin berguna untuk kamu :)

Prada Prameshwari

Sudah. Mari cari makan!

*

Cihampelas Walk malam ini ramai sekali, bahkan terlalu ramai. Kuputuskan untuk makan malam di Gokana bersama teman baikku, Minna. All single ladies, all single ladies... Kulirik sedikit si blackberry sambil terus mengunyah Yakimeshi. Syamina Walendra Prameshwari alias Ibuku. Agak malas sebenarnya kujawab telepon si ibu. Paling-paling beliau beraksi lagi ala matchmaker sejati. Ya, inilah kerjaan ibuku baru-baru ini, jodoh-menjodoh ala jaman Siti Nurbaya. Keluargaku jawa asli, Yogyakarta lebih tepatnya. Ibuku keturunan asli Adipati Mangku Bumi. Sayangnya, si darah biru kerap membuatku terbelenggu, membeku. Apalagi kalau bukan masalah calon suami.

Usiaku baru menginjak angka 27 tahun ini, namun Ibuku sudah heboh sendiri mencari calon suami untukku. Memang tinggal aku yang belum menikah di antara 2 saudara tertuaku. Bukannya tidak laku, namun seperti yang aku bilang tadi, darah biru ini kerap membuatku membeku. Tidak bisa memilih sesuai dengan keinginanku. Permasalahannya terletak di suku adat si calon suami. Keluargaku, oh lebih tepatnya Ibuku, hanya mau menerima calon suami yang berasal dari keturunan kerajaan asli. Apalagi kalau bukan masalah gengsi. Bilangnya sih, demi menjaga silsilah. Ah, pikiranku terlalu liberal untuk itu. Makanya sampai saat ini aku memutuskan untuk menyibukkan diri daripada memikirkan si calon suami yang harus keturunan asli. Blah.

*Klik* Akhirnya kujawab juga telepon Ibuku.
"Kamu dimana mbak? Kok telepon Ibu lama sekali dijawabnya? Kamu lagi apa toh?"
imbuh Ibuku. "Lagi makan, bu. Ini sama Minna temanku. Ada apa, bu, telepon jam segini?"
"Ini Ibu baru pulang dari arisan Ibu-Ibu Dharma Wanita. Terus tadi Ibu dikenalkan sama keponakan Bu Timya. Ternyata dia juga orang Jogja loh mba! Blablablabla...." Sengaja kujauhkan telingaku kalau urusannya sudah begini. Hitung 10 detik, baru pasang kuping kembali, dan Ibuku pasti masih basa-basi. Ah mumpung ada Minna, jadi dia bisa kujadikan alasan untuk menyudahi percakapan ini.
"Ibu, Ibu, (aku harus memanggil beberapa kali sampai akhirnya Ibuku berhenti berbicara sendiri), Ibu, ini aku lagi makan loh sama Minna. Gak enak terima telepon di depan orang begini. Ibu telepon saja nanti lagi ya?" ujarku memotong kalimat panjang si Ibu. "Oh begitu? Yasudah. Nanti Ibu telpon lagi ya, mbak. Ini anaknya baik sekali loh. Tadi saja Ibu diantar pulang ke rumah." imbuh Ibuku tetap promosi. "Iya, bu. Sudah ya. Selamat malam Ibu, salam sama Bapak yaa."

Akhirnya. "Barang baru lagi ya?" ledek Minna sambil tertawa. "Ah sial kamu, udah ah." ujarku sambil agak cemberut.

Selesai makan kuputuskan untuk membelikan Jeko makanan, beli J.Co aja kali ya? Tatitutatitut. Tuuutt. Tuuttt. Kuputuskan untuk menelepon Jeko terlebih dahulu, barangkali dia tidak pulang malam ini.
"Halo, Jeko? Aku lagi di Ciwalk nih, kamu pulang ga malem ini? Aku mau belikan J.Co kesukaanmu." Terdengar sesenggukan di ujung sana. Aku panik. "Jeko? Jeko? Kamu ga papa??" Tiba-tiba ada yang berbicara, bukan suara Jeko. "Halo, mba Prada ya? Saya Jon, supir taksi. Saya juga pernah nganter mba kok."

"Loh supir taksi? Emang Jeko lagi dimana?? Jeko ga papa??" ujarku makin panik. "Tenang mba, Jeko ga kenapa-napa. Ini kita lagi di rumah sakit, mba Ziantine tadi terjatuh dari tangga. Pendarahan. Ini saya juga lagi nunggu si Kolab, katanya mau kesini juga." tutur Jon.

"Hahh???? Zi jatuh?? Astaga! Yaudah saya langsung ke sana juga! Rumah sakit mana sih?" Selesai Jon menyebutkan nama rumah sakit tempat Zi dan Jeko berada, aku memutuskan langsung bergegas ke J.Co untuk memesan. "Dua lusin, mas! Cepat ya! Campur aja semuanya! Oh, Alcaponenya yg banyak ya!"

Aku pun berpamitan dengan Minna dan bergegas menaiki taksi di depan Mall ini. "Ke Hermina pak! Ngebut ya!"
Untung si supir taksi cukup lihai. Tidak sampai sepuluh menit, aku sudah sampai di rumah sakit bersalin ini. Akupun bergegas ke UGD. Mungkin masih pada disana, pikirku. Dan benarlah, kutemukan Jon si supir taksi, Kolab si hippies, Beng si misterius, dan Jeko yang tertunduk masih menangis.

Kulihat pintu UGD, lampu merahnya masih menyala.
Semoga Zi tidak apa-apa.

Prada Prameshwari
plot/ seri 01/ eps.004: SI CALON JANIN/ post: #004. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/026-1604.html

#034: 1603

Enak sekali makan nasi timbel ini. Memang timbel jauh lebih baik dikonsumsi ketimbang polusi timbal yang sudah tak terkira di kota besar seperti Bandung. Oh iya, aku makan di Timbel Bawean, di depan Stadion Siliwangi. Stadion yang jadi markas Persib, tim payah yang sangat dipuja di kota ini. Bagiku, hanya orang bodoh yang rela bak bik buk demi tim olahraga, juga agama.

Tadi aku memilih jalan kaki dari Gasibu sampai sini tentunya dengan sketsa "Kasih yang Sederhana". Siang terik tapi demi mendapat inspirasi ya tidak apa-apalah. Soalnya aku jarang-jarang keluar dari kamar. Di luar kamar, sejuta bahaya mengancam, menurutku.

Aku sadar sering tersenyum atau marah sambil jalan jika suatu memori berkelebat di kepalaku. Memori yang bikin kesal itu misalnya kesalahan-kesalahan kecil di masa lalu. Saat aku jatuh dari angkot karena turun dengan kaki kanan, waktu dulu ditodong pisau oleh preman dan dia merogoh 20 ribu dari kantungku (aku masih SMP dan 20 ribu itu sangat besar untuk ukuran waktu itu), atau saat dihajar ayah dan ibu.

Aku bengong dan memandangi pepohonan di gang keluar Bawean, tepat di depan stadion Siliwangi. Masih rimbun. Jadi tidak terlalu terik. Sejuk. Bau ini sekilas dan mengingatkan pada... keadaan di sekitar rumahku dulu.

***

Aku ingat saat bermain dengan kedua adikku, Bongki dan Freya. Kami berlarian di samping rumah kami yang masih penuh pepohonan dan bunga. Menikmati suara jangkrik saat malam. Pun mengejar kunang-kunang yang terbang riang.

"Pelihara yuk, Bang. Nanti kita taruh di kamar buat hiasan. Biar kamar terang," rengek Freya, manja.

"Atau kita nyari ikan gabus aja di sawah, Bang. Sekalian metik daun cincau di kebun Uwak Nisin," ajak Bongki, padahal sudah malam.

Biasanya aku hanya menolak tawaran adik-adik yang umurnya terpaut 4 dan lima tahun dariku itu dengan senyuman. Lalu menggiring mereka masuk kamar. Lalu membaringkan mereka dengan cerita atau nyanyianku sampai mereka lelap.

Bapak akan marah kalau kami keluar malam-malam.

"Anak kecil jangan keluar kalo udah jam tujuh malam!" titahnya, dengan ibu yang berdiri di sampingnya menatap galak kepada kami. Biasanya kalau ketahuan menyelinap keluar rumah, hanya aku yang dihajar. Entah kenapa. Aku tidak pernah tahu kenapa mereka senang memukuliku...

***

Tiba-tiba aku tersentak. Di depanku kini sebuah mobil Kijang hitam melesat kencang dengan alunan musik keras menghentak-hentak. Ada kepala menyembul dari samping kursi supir. "Dasar homo! Mati aja lo pada!" teriak pemuda di samping kursi supir itu, diikuti derai tawa seluruh penumpang yang memenuhi mobil itu. Tawa yang bernada mencemooh. Mereka menghina dua orang lelaki berbaju pantai dengan tulisan "Bali" yang baru saja melewatiku. Aku tak ingat kapan dua pemuda tersebut lewat. Mungkin saat aku tadi melamun.

Lagi-lagi prasangka buruk hanya lewat penampilan. Ini pasti hasil konstruksi media massa kepada remaja-remaja bodoh. Cih!

Aku memandang mobil itu tajam. Salah satu penumpang mengeluarkan tangannya dan mengacungkan jari tengah. Lalu mereka cekikan menertawakan kedua pemuda yang belum tentu homo hanya karena berpakaian santai dan celana skinny seperti itu. Tapi kaki kedua pemuda itu memang terlihat mirip Astor atau stik Nyam-Nyam dalam balutan celana jins yang ketat. Dua pemuda itu cuma menatap mereka bingung. Lucunya, si pemuda bertampang SMA yang di samping supir teriak "Dasar pengecut! Bencong!" tapi mobil yang disetir temannya ngebut parah, menerabas lampu merah. Yang pengecut itu kalian, ujarku dalam hati.

Dasar bocah SMA. Mereka pikir hidup mereka sedangkal Jack Ass?!

Mobil itu melesat kencang menuju jalan Aceh, belok kanan ke arah samping Siliwangi. Dan sejurus kemudian bunyi "BRAK!" kencang. Bunyi rem mendadak yang terdengar banyak. Lalu asap mengepul.

Aku tidak bisa melihat jelas. Aku sungguh penasaran, maka aku menyambangi tempat itu. Macet dan banyak orang melihat mobil itu dari jauh. Tidak ada yang berani menolong karena kobaran api sudah besar. Dua pemuda yang dikatai homo tadi juga melihat. Mereka tak tahan lalu pergi. Mobil tadi sudah ringsek. Penghuninya tabrakan dengan pohon. Mobilnya meledak dan anak-anak SMA itu mati semua.

Beberapa orang terlihat berusaha memadamkan api, tapi kobaran api itu malah semakin menjilat-jilat udara seakan ada lolipop tak kelihatan terbang. Akhirnya mereka menyerah. Para perempuan yang ada di situ kebanyakan menangis karena ketakutan atau syok. Para lelaki menelpon entah siapa. Mungkin polisi.

Aku berusaha melihat dari jarak lima meter. Bocah-bocah itu terpanggang dan meraung, lalu suara mereka hilang.

Ini adalah salah satu objek gambar terbaik yang pernah kulihat.

Aku mundur sedikit dari kerumunan namun masih dalam sudut memantau. Aku ambil salah satu kertas sketsa lalu mencoba menggambar sketsa kejadian ini.

Indah. Ya, pemandangan indah.

Aku tidak merasa kasihan sama sekali. Semakin aku lihat, semakin aku bernafsu menggambarnya tanpa disadari oleh orang-orang. Dulu aku juga pernah melihat sebuah mobil terbalik karena terlalu ngebut. Dalam sekelebat, bagian atas mobil itu sudah tertukar dengan bagian bawah mobil itu. Si bapak supir berdarah-darah. Lehernya patah kurasa. Aku cuma bisa melihat diam, lalu pergi begitu saja. Sampai aku menoleh ke belakang dari kejauhan dan menyaksikan banyak orang menolong orang itu. Mungkin dia masih hidup. Kemungkinan besar mati.

***

Gambar eksotis ini sudah selesai. Dia baru sketsa lima belas menit. Aku berjanji akan mengubahnya menjadi lukisan realis. Dan kulihat, sudah banyak wartawan datang seperti semut.

Tiba-tiba saja aku ingin tertawa melihat hal itu dan mengingat semua yang berkelebat, sambil melangkah pulang. Menuju apartemen itu...

Langa Beng Otanga
plot/ seri 01/ eps.003: BIBIT PSIKOPAT DI KEBUN SINGKONG/ post: #008. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/022-1603.html

7/17/10

#033: 1600

in this story: Ziantine Larasati, Rasuna Adikara, Langa Beng Otanga.

“Tururuu..tururururuu..rururuuu...” Suling mengalun lembut.. dan kapal bergoyang-goyang digoyang ombak... “Hah! dimana ini?!” teriakku keheranan tiba-tiba mendapati diri telentang di atas dek kapal. Kapal yang luas yang sedang mengarungi samudera yang besar.

Saya bangkit dan melihat ke ujung kapal “siapa lagi itu muda mudi memadu kasih membentuk salib menantang ombak” saya reflek memicingkan mata dan mencoba menghampiri. “srakk” oh sepatu Saya seperti ditahan sesuatu. Saya menengok ke bawah dan mendapati wanita berambut emas yang hanya terlihat kepala dan tangannya mengenggam erat pergelangan kaki Saya. “HOAAAAAA!!” Saya teriak bukan ngeri tapi kagum, lebih banyak mahluk aneh yang pernah saya temui.

“Kamu siapa? kok familiar y?” tanyaku pada wanita rambut emas kepala tangan itu. “Banyak yang bilang begitu, aku memang mirip Celine Dion, panggil aku CD,” jawabnya. “Oke lalu kenapa kaki saya kau tahan,” sahutku balik. “Aku temannya CJ, sebentar,” pungkasnya, dan tiba-tiba CD menggerakan tangannya seperti pesulap Damian dan mengambil secarik kertas dari udara, dan diberikan pada saya.

“HAI KOLAB MABRO, AKU SEKARANG DI RUMAH SAKIT SEKITAR 45 MENIT KE ARAH KIBLAT. TIDAK USAH KHAWATIR, JON DAN JEKO TADI YANG MENYELAMATKAN IBUKU DAN SAUDARAKU. AKU TADI SIANG TERPAKSA MEMINJAM TUBUHMU DARI PINGGANG KE ATAS UNTUK MENELEFON JON DAN MENERIMA TELFON DARI JEKO. MAAF JIKA MUNGKIN TADI KAMU TERBANGUN TERBALIK KARENA MENYEIMBANGKAN TUBUH YANG HANYA BAGIAN ATASMU SUNGGUH SULIT.


SALAM NARKOTIKA
CJ “

Kelar Saya baca memo itu dan “Buak!!” CD memukul saya dengan tangannya yang tiba-tiba memanjang. Semuanya kembali gelap. “Tururuu..tururururuu..rururuuu...” musik kembali mengalun dan Saya kembali membuka mata perlahan. Oh rupanya saya masih di lantai dasar apartemen, dan kaki saya masih terbelit tanaman hias. Musik masih mengalun dan “drttt..” Saku jeans kanan saya bergetar-getar, ternyata handphone saya yang berbunyi dari tadi. “siapa sih yang iseng mengganti nada telefon dan sms masuk hp saya dengan lagu Titanic?” gumam Saya sebal. Saya rogoh saku dan mengambil perlahan Hpnya, seluruh badan saya masih sakit, terutama kepala.

“Klik” Saya pencet nokia pisang yang merepotkan itu. Banyak misscall dari Jeko dan Jon. ada satu pesan juga dari Jon “Lab mana lo? katanya mau dateng ke RS, cepetan Jeko bingung tuh.” Saya masukkan kembali Hp Saya ke saku dan mencoba bangkit terseok-seok.

Baru saja saya bangkit, seketika saja pintu masuk apartemen terbuka dari luar. Seorang berwajah kaku dengan beberapa gulungan kertas sketsa masuk. “Beng! tau arah kiblat ga kemana?” Sapa sekaligus tanya saya. “Ya saya tau, ke arah sana, kamu si tetangga hippies kan?,” jawabnya sambil menunuuk arah kiblat. “hah? hippies? apaan tuh? iya saya Kolab tetangga depan kamar, sebelahnya Jeko,” jelas Saya.

“Ada apa? kepalamu kenapa bocor begitu?” tanyanya datar, seolah darah dan luka biasa baginya. “Ceritanya panjang, yang jelas sebaiknya kau temani saya ke rumah sakit ke arah kiblat, terjadi sesuatu terhadap C eh Zi!,” jawab saya terengah. “Hah?! Kenapa Zi!?” Beng mulai panik. “Kena kanker serviks kali, ayo ntar aja tanya jawabnya,” Ujarku sambil merangkul leher Beng dan mengajaknya mencari taksi untuk ke rumah sakit arah kiblat.

Kami pun tiba di rumah sakit. Beng yang membayar taksinya. “tengkyu Beng,” ujarku. Kami masih di depan rumah sakit. “Beng sori saya dah mau pingsan nih, malah udah pingsan tadi gara-gara tiga hari belum makan, beliin makan bentar dong Beng apa aja bungkusin, Saya harus cepet-cepet ketemu Jon ama Jeko nih,” sambungku sambil merukuk. “Oke nanti ku susul ke dalam,” Ujar Beng tanpa protes tapi Saya malah takut.

Di dalam ruang tunggu sudah ada Jon. “Thanx Jon,”ujarku sambil menepuk pundaknya dan duduk disebelah kanannya. Jon hanya mengacungkan jempolnya dan tersenyum. Tak lama datang Jeko yang mukanya mencair tersedu, ia terduduk pilu di sebelah kanan Saya. Saya beri tepukan di pundaknya dan berbisik “tenang, ceje tidak ikut mati, dia akan terus hidup bersamaku kok!.” Jeko si Don Juan tetap menangis. “Lagipula CJ kan tidak sendiri di perut ibunya, dia masih punya dua saudara lagi,” sambungku. “loh jadi Zi anaknya kembar 3??,” sambar Jon yang lebih tahu daripada Jeko. Jeko tidak peduli dan masih lanjut menangis, dan tiba-tiba.. aroma bakpau menyeruak, disusul adegan Beng yang sudah berlutut bersimbah keringat dengan muka yang sepertinya terkejut. Bahkan Beng sepertinya tidak sadar sudah menumpahkan tiga bakpau yang mungkin titipan saya itu.

“Beng kau kenapa?” tanyaku sambil menepuk pundaknya, dan menjadikan ia pria ketiga yang saya tepuk pundaknya hari ini. Beng diam, Saya kelaparan, Jeko menangis, Jon memungut Bakpau dan Zi kritis.

Kolatbon Nawalem
plot/ seri 01/ eps.004: SI CALON JANIN/ post: #005. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/032-1602.html

#032: 1602

in this story: Ziantine Larasati, Kolabton Nawalem


mataku terbelalak, sontak berteriak. andai kuat kubopong sendirian Ziantine ke lobi apartemen di lantai dasar, tak lama kemudian Wati datang. kami bopong Ziantine berdua, aku merogoh telepon genggamku dari saku. kutelpon siapa saja yang bisa kutelpon.

aku menyela setelah terdengar sapa, “SIAPAPUN INI, TOLONG CEPAT PANGGIL TAKSI KE L’APPARTEMANT!!!” suara di ujung telepon terdengar santai, mencoba menutupi kekikukannya, “woy, santey dong, butuh taksi doang nih lo, atau sekalian sama barangnya?” tanyanya setengah bercanda. oh, tidak, dari seribu nomor yang ada di telepon genggamku, kenapa harus nomor Kolabton Nawalem yang kupencet.

“PUNYA NOMOR TAKSI GAK, ZIANTINE JATUH, HARUS CEPAT DIANTER KE RUMAH SAKIT!” tanyaku panik. “santai kali sob, gak usah pake all-caps ngomongnya. gw udah tau kalau Ziantine jatoh, dari ceje, sekarang kenalan gw udah nunggu di bawah. nanti malam gw nyusul ke rumah sakit, biar nanti ceje yang kasih tau gw.”

aku tak pernah mengerti bagaimana keajaiban bekerja di tanah bumi, tapi di lobi apartemen, seorang supir taksi bernama Jon yang mengaku ditelepon Kolabton setengah jam yang lalu sudah menunggu untuk mengevakuasi Ziantine ke rumah sakit.

Wati aku bawa serta, pahanya bisa menjadi sandaran empuk bagi Ziantine yang aku yakin sekali, di tengah ketidaksadarannya pasti butuh berbaring. kabar baik menyapaku dengan cara-cara yang tak pernah aku mengerti, bagaimana Kolabton bisa mengetahui semua ini, ah lagi-lagi aku tidak peduli. yang kupedulikan sekarang adalah kabar buruknya, rumah sakit terdekat jaraknya bila ditempuh dengan waktu normal akan memakan waktu kurang lebih satu jam.

“tenang sob, di perjalanan, percayakan sama Jon,” sambil menyalakan mobil, sopir taksi itu meyakinkanku untuk tetap tenang. tapi bagaimana bisa ku tenang, bila tak lama kemudian ia menyalakan lintingan ganja dan sekuat tenaga memacu besi kuda.

tidak sampai tiga puluh menit aku memejamkan mata, Jon yang memacu kuda besi secepat cahaya telah mengantarkanku dengan selamat sentosa ke depan pintu gerbang sebuah rumah sakit kandungan. tapi tidak dengan Wati, kulihat ia telah hilang nyawanya sementara, baju cleaning servicenya dipenuhi muntahan yang sedikit banyak juga mengenai wajah Ziantine. aduh, malang nian nasib calon ibu muda ini.

akhirnya aku dan Jon yang mengangkat Ziantine ke tempat dalam rumah sakit. pihak rumah sakit yang sigap segera membawa Ziantine ke unit gawat darurat, aku dan Jon mengantar sampai ruangan yang tegang berima tersebut. petugas yang mengantar kami bertanya, “kenapa ini?” karena aku panik, Jon yang menjawab dengan detil apa yang terjadi pada kami di tangga lantai sembilan. “tadi Kolabton menceritakan padaku di telepon.” aku sudah tidak peduli lagi makhluk seperti apa Jon dan Kolabton ini, yang kupedulikan adalah bagaimana lekas menyelamatkan calon ibu muda yang malang ini dengan jabang bayinya.

dokter menunggu kami menunggu di ruang tunggu, kami juga diminta untuk melengkapi administrasi. aku harap Ziantine anak seorang jutawan, atau minimal dia punya asuransi kesehatan. sebab rumah sakit ini terkenal karena harganya lebih tinggi dari langit.

Jon katanya akan menunggu Kolabton di sini sampai malam, lagipula ia tidak lagi untuk menarik penumpang hari ini karena jok belakangnya sudah diisi seorang wanita tambun yang pingsan dan muntahannya. sambil membikin kopi, aku mengobrol ngalor-ngidul dengan Jon tentang Kolabton. satu ceritanya tentang Kolabton yang membuat bulu kudukku berdiri adalah, konon Kolabton punya indera keenam. setelah bercinta satu malam dengan wanita pojok yang satu, pojokan lainnya konon bisa melihat ‘sosok’, haduh, orang-orang macam apa yang menghuni lantai apartemenku.

tiba-tiba dokter datang membawa kabar buruk, “yang mana dari anda berdua suami Ziantine Larasati?” Jon dengan gesit menunjuk mukaku sebelum sempat ku menunjuk batang hidungnya. aku ragu untuk mengelak, antara kasihan dan takut disalahkan, dokter yang mengiraku suami Ziantine, membawaku ke sebuah ruangan, di mana satu pertanyaan darinya akan mengubahku menjadi seorang pembunuh, untuk selamanya.

“kondisi Bu Ziantine kritis, kemungkinannya selamat amat kecil bila kita memaksa untuk mempertahankan bayinya. sebagai suaminya, saya ingin menanyakan keputusan anda, karena waktunya tak lama lagi, bila Bu Ziantie tak segera di operasi, dua-duanya akan masuk liang lahat bersama. apakah anda masih ingin menyelamatkan anak anda, dengan mengorbankan istri anda?” tanya dokter begitu kejam.

meski nanti dokter tahu aku bukan suaminya, tapi ia sekarang tahu bahwa air mata yang keluar dari mataku ini adalah pantas dikeluarkan oleh setiap ayah yang akan kehilangan calon bayinya. meski nanti dokter tahu aku bukan suaminya, tugasku sekarang adalah menjadi suami pura-pura Ziantine, yang menentukan hidup dan mati Ziantine.

“selamatkan ibunya saja dok!” aku tahu, keputusanku menyelamatkan hidup Ziantine, belum tentu menyelamatkan sisa ‘hidup’ Ziantine. andai selamat nanti, tak seorang pun berani menjamin Ziantine akan berjalan seperti laiknya seorang zombie, as a dead man walking.

aku pulang dan menangis ke ruang tunggu di mana Jon dan Kolabton—yang baru saja tiba—menungguku di sana. ketika ku duduk, Kolabton mencoba menghibur dengan menepuk pundakku. ia berbisik padaku sambil sedikit tersenyum, “tenang, ceje tidak ikut mati, dia akan terus hidup bersamaku kok!”

aku, yang masih tidak mengerti, terus menerus menangis malam itu.

Rasuna Adikara
plot/ seri 01/ eps.004: SI CALON JANIN/ post: #005. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/030-1602.html