Lantai 16

7/19/10

#038: 1601

in this story: Kolabton Nawalem

Bau ini... Susah dijelaskan. Tanda aku sudah sampai di Apartemen Seguni. Bangunan yang umurnya tidak terlalu tua. Aku berdiri mematung di hadapan gedung ini. Mataku meneliti kaki hingga kepala bangunan ini. Langit mulai menghitam di ujung sana. Lagi-lagi.. Hm.. Bau sore menjelang malam.

Aku selalu percaya bahwa setiap tempat dan waktu memiliki bau khasnya masing-masing. Susah untuk mendeskripsikannya, hanya bisa dipercayai. Bukankah setiap keyakinan begitu adanya? Kau tidak bisa membuat orang percaya, kecuali tertarik.

Selain itu, aku pun sering merekam periode-periode tertentu dalam hidupku dengan lagu-lagu. Yang masih aku ingat, lagu "Mungkinkah" karya Stinky adalah penanda masa akhir SMA. Dan di televisi, kini, entah bagaimana sang vokalis band tersebut alih profesi jadi pelawak. Ya, komedi adalah sebuah pelarian, komedi adalah hiburan, pun komedi adalah tragedi.

Aku masuk ke dalam apartemen. Ada beberapa orang di lobi. Lagi-lagi nonton tivi. Kali ini tayangan gosip. Cih! Dari matahari baru ngaceng sampai loyo, selalu saja ada gosip. Sesuatu yang tak penting dipaksakan penting. Beritanya pun seputar perceraian, pacaran, dan persetubuhan. Memuakkan. Lagipula mereka bukan artis. Hanya selebritis! Ketimbang aku marah-marah tidak jelas, lebih baik aku menuju kamar. Kali ini aku memilih jalan kaki ke atas, biar lelah dan mandi air panas dengan puas.

Tap.. Tap.. Tap.. Sunyi. Bunyi langkahku bergaung. Dan entah di lantai berapa, aku lihat si hippies tergeletak. Darah menggenangi kepalanya. Rambutnya jadi awut-awutan becek. Kenapa pula dia? Tidak ada orang. Tidak ada OB.

Aku tanya mengapa dia bisa berdarah-darah begitu (seperti manekin aneh di kamarnya). Tak ada penjelasan berarti. Dia malah terlihat tergesa-gesa bagaikan ada semut api di lubang pantatnya.

"Zi di rumah sakit yang searah kiblat!" ujarnya. Hah?! Apa pula rumah sakit searah kiblat? "Melahirkankah?" tanyaku. Wajahku yang kaget pasti terlihat bodoh.

"Tidak tahu," balas si hippies. Dia mengajakku ke rumah sakit. Aku ikut saja, mengingat Zi telah baik kepadaku.

Si hippies merangkulkan lengannya di leherku. Sok akrab. Darahnya menciprati bajuku. Cat plus darah. Corak aneh. Mungkin bisa jadi tren fesyen suatu hari. Hm.. Bau apa ini? Tidak enak betul. Setelah aku intip ke kiri, rupanya itu bau darah kering plus ketiak si hippies. Sial...

Di taksi, aku melamun. Tidak berbicara sama sekali dengan supir maupun pak gondrong di sebelahku. Kontak antar taksi jadi latar suara pengiring perjalanan. Lampu jalan mulai menyala. Pendar kuningnya membawa rindu. Entah rindu terhadap apa, aku pun tak tahu. Sekejap saja sendu. Pepohonan dan orang-orang seakan ditarik secara cepat ke belakang taksi. Langit langsung muram, pertanda malam. Seperti pada kisah "The Phantom Toolbooth". Ajaib.

Tahu-tahunya kami sudah sampai di RS Hermina. Aku membayar taksi karena Kolab (betul kan itu namanya?) hampir kolaps. "Saya belum makan tiga hari, Beng. Tolong belikan bakpau," rengeknya. Tanpa basa basi aku turuti saja. Aku pergi keluar dan mencari tukang bakpau. Selalu ada tukang bakpau di rumah sakit. Adakah penelitian tentang ini? Haha... Selain itu, ada tukang sate dan nasi goreng yang berdiri di gerobak dengan kesibukan masing-masing.

Nah, bakpau sudah tiba. Namun entah mengapa mataku tertuju ke samping gerobak tukang nasi goreng. Sepasang suami istri makan bersama empat anaknya. Si istri membersihkan mulut suaminya yang ada nasinya, dengan tisu. Si istri menggendong seorang putri di dadanya dengan kain bercorak batik. Lalu dua bocah laki-laki yang menggoda adik perempuan mereka. Manis sekali. Sekejut kemudian mereka menoleh ke arahku. Kakiku langsung dingin. Badanku serasa beku.

Wajah mereka mirip keluargaku yang sudah mati, dengan aku yang masih kecil di dalamnya! Mereka menyeringai. Ngeri.

Aku angkat kaki dari tempat itu, meski berat kurasa.

*

Tanganku menyodorkan bakpau itu, tapi rasanya lemas sekali. Bakpau itu jatuh. "Kamu kenapa, Beng?" tanya Kolab, sembari menepuk pundakku. Aku tak bisa menjawab. Hanya diam. Sebuah bau menyeruak. Susah dijelaskan. Memori baru terbentuk melalui kejadian ganjil tadi. Memori yang tak enak, yang akan terus hinggap di kepala...


Langa Beng Otanga
plot/ seri 01/ eps.003: BIBIT PSIKOPAT DI KEBUN SINGKONG/ post: #009. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/034-1603.html

No comments:

Post a Comment