Lantai 16

7/21/10

#041: 1606

Kedatanganku ke rumah sakit ini bukan disengaja. Aku tak kenal dekat dengan calon Ibu itu. Baru sebatas tahu nama, dari perkenalan singkat kami di depan pintu 1602. Bahkan dengan dengan penghuni lainnya pun aku belum sempat menyapa satu-persatu . Penghuni pertama yang berinteraksi denganku adalah Sherry, perempuan bertubuh seksi dengan rambut coklat keemasan itu, saat aku nyaris hipotermia. Dan kemarin, aku berkenalan dan ngobrol panjang lebar dengan Rasuna. Hmm siapa itu nama panggilannya, aku lupa. Oya, Jeko. Sisanya, aku belum sempat bertemu atau bertegur sapa. Namun, kejadian seperti ini – bencana alam, kecelakaan di jalan raya, bahkan kecopetan pun – sering membuat kita mengabaikan hubungan personal dengan orang yang mengalaminya. Hubungan yang terjadi hanya satu: sebagai sesama manusia, yang masih punya rasa iba. Mahluk sosial.

Aku tahu bahwa Ziantine masuk rumah sakit saat seorang perempuan (lagi-lagi) cantik dan modis tak sengaja berpapasan denganku di tangga. Saat itu aku hendak naik ke lantai 16 sehabis membeli beberapa perabotan untuk di ruang baruku itu. Perempuan itu tergopoh-gopoh menuruni tangga, tubuhnya sempat menyenggol bahu kananku. Dan walhasil, membuat barang-barang yang ku bopong jatuh berhamburan di lantai.

“Maaf aku buru-buru,” ujarnya. Aku tersenyum. “Tak masalah,” ujarku singkat.
“Sebentar!” suaranya tiba-tiba menghentikan kegiatanku yang sedang memungut ember, gayung, bantal, dan peralatan rumah tangga lainnya.
“Ya, ada apa?”
“Kau penghuni baru di lantai 16 ya? Tetangga kita, Ziantine, si ibu hamil, masuk rumah sakit, katanya kritis, pendarahan. Oya dia di Rumah Sakit Hermina. Kau datang saja nanti ke UGD atau ke costumer servicenya. Aku tak tahu ia di rawat di bagian mana. Kau mau ikut ke sana?” Perempuan itu bicara dengan cepat dan detil.

“Ya. Ah tapi silakan kau duluan, aku nanti menyusul dengan taksi. Aku perlu taruh barang-barang ini ke kamarku dulu,”
“Okay, see u there,” ia melambaikan tangan.

*

Sayang, aku tak bisa membantu apa-apa. Ingin mengirimi Zi doa, tapi aku tak tahu harus memajatkan doa kepada siapa? Teringat perbincangan dengan temanku, saat diriku mulai masuk fase meragukan Tuhan.

“Lantas, jika aku putus asa dan aku tak bisa berbuat apa-apa, aku harus berdoa kepada siapa?”. Temanku hanya menjawab, doa itu sebagai bentuk pengharapan, kamu meletakkan harapan itu dan membiarkan harapan itu berjalan dengan sendirinya. Atau jika kamu menganggap doa adalah bagian dari spiritual, kau percayakan saja harapanmu itu mengalir melalui energi yang tak kasat mata, energi di luar kendalimu.

Ahh, sudahlah, pikiran flashback ini akan tambah membuat ku terdiam semakin lama. Setidaknya, kali ini aku menaruh doaku, harapanku kepada faktor eksternal dan internal di luar diriku. Yaitu, energi alam raya yang tak kasat mata dan dokter yang sedang melakukan operasi itu. Doaku, biarkan calon ibu itu selamat, biarkan dia tetap hidup, meski harus menelan pil pahit seumur hidupnya: kehilangan anaknya yang belum sempat ia timang.

Aku menghampiri Jeko. Mata dan hidungnya memerah, bekas menangis. Ahh ternyata pria ini punya empati yang luar biasa. Di samping Jeko, berdiri dua orang pria – yang aku tak tahu namanya itu – berusaha menenangkan Jeko. Tak jauh dari mereka, berada perempuan yang memberi tahu ku kabar buruk yang dialami Ziantine.

Di sela menunggu kabar terakhir Ziantine, perempuan itu tampak sibuk berkutat dengan notebooknya. Jemarinya menari lihai di atas tombol-tombol huruf notebook itu. Hmmhh tampaknya ia perempuan yang punya kerjaan padat, pikirku.

Meski kami belum mengenal satu sama lain, tapi aku yakin perasaan kami saat ini sama. Sama-sama mengharap agar Ziantine, selamat. Meski aku belum lihat satu batang hidung keluarga Ziantine atau suaminya, tapi aku merasa energi harapan di antara kami – para penghuni appartemant – cukup besar untuk keselamatan Zi.

Florisia Rainarki
plot/ seri 01/ eps.004: SI CALON JANIN/ post: #005. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/029-1606.html

No comments:

Post a Comment