Lantai 16

7/18/10

#034: 1603

Enak sekali makan nasi timbel ini. Memang timbel jauh lebih baik dikonsumsi ketimbang polusi timbal yang sudah tak terkira di kota besar seperti Bandung. Oh iya, aku makan di Timbel Bawean, di depan Stadion Siliwangi. Stadion yang jadi markas Persib, tim payah yang sangat dipuja di kota ini. Bagiku, hanya orang bodoh yang rela bak bik buk demi tim olahraga, juga agama.

Tadi aku memilih jalan kaki dari Gasibu sampai sini tentunya dengan sketsa "Kasih yang Sederhana". Siang terik tapi demi mendapat inspirasi ya tidak apa-apalah. Soalnya aku jarang-jarang keluar dari kamar. Di luar kamar, sejuta bahaya mengancam, menurutku.

Aku sadar sering tersenyum atau marah sambil jalan jika suatu memori berkelebat di kepalaku. Memori yang bikin kesal itu misalnya kesalahan-kesalahan kecil di masa lalu. Saat aku jatuh dari angkot karena turun dengan kaki kanan, waktu dulu ditodong pisau oleh preman dan dia merogoh 20 ribu dari kantungku (aku masih SMP dan 20 ribu itu sangat besar untuk ukuran waktu itu), atau saat dihajar ayah dan ibu.

Aku bengong dan memandangi pepohonan di gang keluar Bawean, tepat di depan stadion Siliwangi. Masih rimbun. Jadi tidak terlalu terik. Sejuk. Bau ini sekilas dan mengingatkan pada... keadaan di sekitar rumahku dulu.

***

Aku ingat saat bermain dengan kedua adikku, Bongki dan Freya. Kami berlarian di samping rumah kami yang masih penuh pepohonan dan bunga. Menikmati suara jangkrik saat malam. Pun mengejar kunang-kunang yang terbang riang.

"Pelihara yuk, Bang. Nanti kita taruh di kamar buat hiasan. Biar kamar terang," rengek Freya, manja.

"Atau kita nyari ikan gabus aja di sawah, Bang. Sekalian metik daun cincau di kebun Uwak Nisin," ajak Bongki, padahal sudah malam.

Biasanya aku hanya menolak tawaran adik-adik yang umurnya terpaut 4 dan lima tahun dariku itu dengan senyuman. Lalu menggiring mereka masuk kamar. Lalu membaringkan mereka dengan cerita atau nyanyianku sampai mereka lelap.

Bapak akan marah kalau kami keluar malam-malam.

"Anak kecil jangan keluar kalo udah jam tujuh malam!" titahnya, dengan ibu yang berdiri di sampingnya menatap galak kepada kami. Biasanya kalau ketahuan menyelinap keluar rumah, hanya aku yang dihajar. Entah kenapa. Aku tidak pernah tahu kenapa mereka senang memukuliku...

***

Tiba-tiba aku tersentak. Di depanku kini sebuah mobil Kijang hitam melesat kencang dengan alunan musik keras menghentak-hentak. Ada kepala menyembul dari samping kursi supir. "Dasar homo! Mati aja lo pada!" teriak pemuda di samping kursi supir itu, diikuti derai tawa seluruh penumpang yang memenuhi mobil itu. Tawa yang bernada mencemooh. Mereka menghina dua orang lelaki berbaju pantai dengan tulisan "Bali" yang baru saja melewatiku. Aku tak ingat kapan dua pemuda tersebut lewat. Mungkin saat aku tadi melamun.

Lagi-lagi prasangka buruk hanya lewat penampilan. Ini pasti hasil konstruksi media massa kepada remaja-remaja bodoh. Cih!

Aku memandang mobil itu tajam. Salah satu penumpang mengeluarkan tangannya dan mengacungkan jari tengah. Lalu mereka cekikan menertawakan kedua pemuda yang belum tentu homo hanya karena berpakaian santai dan celana skinny seperti itu. Tapi kaki kedua pemuda itu memang terlihat mirip Astor atau stik Nyam-Nyam dalam balutan celana jins yang ketat. Dua pemuda itu cuma menatap mereka bingung. Lucunya, si pemuda bertampang SMA yang di samping supir teriak "Dasar pengecut! Bencong!" tapi mobil yang disetir temannya ngebut parah, menerabas lampu merah. Yang pengecut itu kalian, ujarku dalam hati.

Dasar bocah SMA. Mereka pikir hidup mereka sedangkal Jack Ass?!

Mobil itu melesat kencang menuju jalan Aceh, belok kanan ke arah samping Siliwangi. Dan sejurus kemudian bunyi "BRAK!" kencang. Bunyi rem mendadak yang terdengar banyak. Lalu asap mengepul.

Aku tidak bisa melihat jelas. Aku sungguh penasaran, maka aku menyambangi tempat itu. Macet dan banyak orang melihat mobil itu dari jauh. Tidak ada yang berani menolong karena kobaran api sudah besar. Dua pemuda yang dikatai homo tadi juga melihat. Mereka tak tahan lalu pergi. Mobil tadi sudah ringsek. Penghuninya tabrakan dengan pohon. Mobilnya meledak dan anak-anak SMA itu mati semua.

Beberapa orang terlihat berusaha memadamkan api, tapi kobaran api itu malah semakin menjilat-jilat udara seakan ada lolipop tak kelihatan terbang. Akhirnya mereka menyerah. Para perempuan yang ada di situ kebanyakan menangis karena ketakutan atau syok. Para lelaki menelpon entah siapa. Mungkin polisi.

Aku berusaha melihat dari jarak lima meter. Bocah-bocah itu terpanggang dan meraung, lalu suara mereka hilang.

Ini adalah salah satu objek gambar terbaik yang pernah kulihat.

Aku mundur sedikit dari kerumunan namun masih dalam sudut memantau. Aku ambil salah satu kertas sketsa lalu mencoba menggambar sketsa kejadian ini.

Indah. Ya, pemandangan indah.

Aku tidak merasa kasihan sama sekali. Semakin aku lihat, semakin aku bernafsu menggambarnya tanpa disadari oleh orang-orang. Dulu aku juga pernah melihat sebuah mobil terbalik karena terlalu ngebut. Dalam sekelebat, bagian atas mobil itu sudah tertukar dengan bagian bawah mobil itu. Si bapak supir berdarah-darah. Lehernya patah kurasa. Aku cuma bisa melihat diam, lalu pergi begitu saja. Sampai aku menoleh ke belakang dari kejauhan dan menyaksikan banyak orang menolong orang itu. Mungkin dia masih hidup. Kemungkinan besar mati.

***

Gambar eksotis ini sudah selesai. Dia baru sketsa lima belas menit. Aku berjanji akan mengubahnya menjadi lukisan realis. Dan kulihat, sudah banyak wartawan datang seperti semut.

Tiba-tiba saja aku ingin tertawa melihat hal itu dan mengingat semua yang berkelebat, sambil melangkah pulang. Menuju apartemen itu...

Langa Beng Otanga
plot/ seri 01/ eps.003: BIBIT PSIKOPAT DI KEBUN SINGKONG/ post: #008. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/022-1603.html

No comments:

Post a Comment