in this story: Ziantine Larasati
Aku tergolong pemakan yang cepat. Mengunyah terlalu lama atau ngobrol-ngobrol sambil makan adalah hal ganjil buatku. Beberapa orang, dulu selalu mengatakan kalimat standar, "Beng, makan sambil nafas dong" lalu mereka tertawa-tawa. Aku cuma nyengir aja mendengar itu. Tapi lama kelamaan bosan juga mendengarnya. Artikel kesehatan pun mengatakan makan terlalu cepat bisa mengakibatkan gangguan pencernaan atau panas dalam. Bah! Jelas-jelas tidak ada istilah 'panas dalam' di kamus kesehatan.
Aku pikir perempuan pemilik kamar ini akan bawel atau apalah seperti yang kupikirkan, rupanya tidak. Dia diam saja dan tampak menikmati makanan buatannya. Sambil mengunyah sesekali aku perhatikan wajah Zi. Wajahnya datar, matanya agak sayu, dan tanpa senyum. Padahal aku yakin kalau senyum dia pasti terlihat lebih baik. Aku termasuk orang yang percaya saat seseorang hamil, dia memiliki aura cantik tersendiri. Ah, kok aku jadi kayak iklan susu bayi begini ya?
Makanan selesai ditelan. Aku ambil segelas air jeruk dari teko yang berkeringat karena dingin. Kuminum.
"Aaahh... Manisnya pas. Enak. Masakanmu juga mantap," kataku.
Zi tersenyum. "Aku pikir kamu tidak suka. Dari tadi diam saja. Eh iya, kamu pelukis ya, Beng?"
Aku mengangguk. Dia mungkin tahu dari penghuni kamar lain. Si hippies gondrong itu atau orang lobby di bawah sana. Lalu aku baru sadar, bajuku masih ada tumpahan cat. Zi bertanya lagi tentang mengapa aku memilih berprofesi sebagai pelukis.
"Dari kecil aku suka menggambar. Awalnya dengan ranting-ranting mati pepohonan, aku mengurek-urek tanah dan membentuk pola. Apa saja. Yang jelas awalnya mah standar: dua gunung dengan matahari di tengah-tengahnya lalu sawah dan tiang listrik di bawah. Hahaha..."
Dia tertawa. "Standar banget ya anak-anak tuh gambarnya," katanya. "Kayaknya setiap anak kecil, termasuk aku, gambar kayak gitu deh. Emang nih ya guru-guru sama aja ngajar gambarnya."
"Iya, Zi. Dengan melukis, aku berhasil meredam gambar-gambar yang muncul di pikiranku. Dulu hal itu sangat mengganggu, tapi dengan menaruh kelebatan-kelebatan itu di kanvas, ada perasaan lega. Seperti sembuh total dari kanker. Kalau aku tak menggambar, kanker itu akan menggerogotiku sampai mampus. Aku tidak pernah lho memikirkan karyaku akan laku mahal atau tidak. Aku bersyukur saja kalau ada yang mengapresiasi karya-karyaku," paparku panjang lebar.
Suasana mencair. Obrolan seperti ini jarang aku dapat. Berbicara dengan Zi cukup nyaman. Tapi di balik tawa renyahnya, aku rasa dia menyimpan kesedihan yang mendalam. Aku tanya pekerjaannya dan dia bilang "translator buku". Wow, bekerja di penerbitan pernah terbesit di pikiranku dulu. Aku termasuk doyan membaca. Selain kanvas dan cat, kamarku juga dijejali buku-buku.
"Wah, bisa lah ya aku main ke kamarmu suatu waktu," ujar Zi riang.
Sebenarnya aku ingin bertanya dimana bapak si bayi, tapi urung kutanyakan. Aku teringat mesti ke pasar rakyat Gasibu. Ini ritual mingguanku untuk mencari inspirasi.
"Zi, makasih ya untuk sarapan dan obrolan pagi yang menyenangkan. Maaf mengganggu. Aku mesti ke Gasibu. Jalan-jalan pagi. Aufwiedersehen"
"Oh iya, sama-sama, Beng. Makasih untuk tisumu tadi. Jangan sungkan-sungkan untuk mampir kemari. Kan kita tetangga. Bitte"
Hahaha.. ternyata dia mengerti ucapan sampai jumpa itu.
Senyum itu terulas dari bibirnya. Matanya menyipit. Teduh. Di belakangnya, lukisan mirip karya Salvador Dali menantang. Itulah yang aku lihat sebelum membalikkan badan dan keluar dari kamarnya.
Aku tergolong pemakan yang cepat. Mengunyah terlalu lama atau ngobrol-ngobrol sambil makan adalah hal ganjil buatku. Beberapa orang, dulu selalu mengatakan kalimat standar, "Beng, makan sambil nafas dong" lalu mereka tertawa-tawa. Aku cuma nyengir aja mendengar itu. Tapi lama kelamaan bosan juga mendengarnya. Artikel kesehatan pun mengatakan makan terlalu cepat bisa mengakibatkan gangguan pencernaan atau panas dalam. Bah! Jelas-jelas tidak ada istilah 'panas dalam' di kamus kesehatan.
Aku pikir perempuan pemilik kamar ini akan bawel atau apalah seperti yang kupikirkan, rupanya tidak. Dia diam saja dan tampak menikmati makanan buatannya. Sambil mengunyah sesekali aku perhatikan wajah Zi. Wajahnya datar, matanya agak sayu, dan tanpa senyum. Padahal aku yakin kalau senyum dia pasti terlihat lebih baik. Aku termasuk orang yang percaya saat seseorang hamil, dia memiliki aura cantik tersendiri. Ah, kok aku jadi kayak iklan susu bayi begini ya?
Makanan selesai ditelan. Aku ambil segelas air jeruk dari teko yang berkeringat karena dingin. Kuminum.
"Aaahh... Manisnya pas. Enak. Masakanmu juga mantap," kataku.
Zi tersenyum. "Aku pikir kamu tidak suka. Dari tadi diam saja. Eh iya, kamu pelukis ya, Beng?"
Aku mengangguk. Dia mungkin tahu dari penghuni kamar lain. Si hippies gondrong itu atau orang lobby di bawah sana. Lalu aku baru sadar, bajuku masih ada tumpahan cat. Zi bertanya lagi tentang mengapa aku memilih berprofesi sebagai pelukis.
"Dari kecil aku suka menggambar. Awalnya dengan ranting-ranting mati pepohonan, aku mengurek-urek tanah dan membentuk pola. Apa saja. Yang jelas awalnya mah standar: dua gunung dengan matahari di tengah-tengahnya lalu sawah dan tiang listrik di bawah. Hahaha..."
Dia tertawa. "Standar banget ya anak-anak tuh gambarnya," katanya. "Kayaknya setiap anak kecil, termasuk aku, gambar kayak gitu deh. Emang nih ya guru-guru sama aja ngajar gambarnya."
"Iya, Zi. Dengan melukis, aku berhasil meredam gambar-gambar yang muncul di pikiranku. Dulu hal itu sangat mengganggu, tapi dengan menaruh kelebatan-kelebatan itu di kanvas, ada perasaan lega. Seperti sembuh total dari kanker. Kalau aku tak menggambar, kanker itu akan menggerogotiku sampai mampus. Aku tidak pernah lho memikirkan karyaku akan laku mahal atau tidak. Aku bersyukur saja kalau ada yang mengapresiasi karya-karyaku," paparku panjang lebar.
Suasana mencair. Obrolan seperti ini jarang aku dapat. Berbicara dengan Zi cukup nyaman. Tapi di balik tawa renyahnya, aku rasa dia menyimpan kesedihan yang mendalam. Aku tanya pekerjaannya dan dia bilang "translator buku". Wow, bekerja di penerbitan pernah terbesit di pikiranku dulu. Aku termasuk doyan membaca. Selain kanvas dan cat, kamarku juga dijejali buku-buku.
"Wah, bisa lah ya aku main ke kamarmu suatu waktu," ujar Zi riang.
Sebenarnya aku ingin bertanya dimana bapak si bayi, tapi urung kutanyakan. Aku teringat mesti ke pasar rakyat Gasibu. Ini ritual mingguanku untuk mencari inspirasi.
"Zi, makasih ya untuk sarapan dan obrolan pagi yang menyenangkan. Maaf mengganggu. Aku mesti ke Gasibu. Jalan-jalan pagi. Aufwiedersehen"
"Oh iya, sama-sama, Beng. Makasih untuk tisumu tadi. Jangan sungkan-sungkan untuk mampir kemari. Kan kita tetangga. Bitte"
Hahaha.. ternyata dia mengerti ucapan sampai jumpa itu.
Senyum itu terulas dari bibirnya. Matanya menyipit. Teduh. Di belakangnya, lukisan mirip karya Salvador Dali menantang. Itulah yang aku lihat sebelum membalikkan badan dan keluar dari kamarnya.
"Time fly away, mate"
Waktu terbang. Cepat sekali berlalu. Tahu-tahu aku sudah tiga puluh tahun sebulan lagi.
Langa Beng Otanga
plot/ seri 01/ eps.003: BIBIT PSIKOPAT DI KEBUN SINGKONG/ post: #006. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/018-1603.html
No comments:
Post a Comment