Lantai 16

7/17/10

#032: 1602

in this story: Ziantine Larasati, Kolabton Nawalem


mataku terbelalak, sontak berteriak. andai kuat kubopong sendirian Ziantine ke lobi apartemen di lantai dasar, tak lama kemudian Wati datang. kami bopong Ziantine berdua, aku merogoh telepon genggamku dari saku. kutelpon siapa saja yang bisa kutelpon.

aku menyela setelah terdengar sapa, “SIAPAPUN INI, TOLONG CEPAT PANGGIL TAKSI KE L’APPARTEMANT!!!” suara di ujung telepon terdengar santai, mencoba menutupi kekikukannya, “woy, santey dong, butuh taksi doang nih lo, atau sekalian sama barangnya?” tanyanya setengah bercanda. oh, tidak, dari seribu nomor yang ada di telepon genggamku, kenapa harus nomor Kolabton Nawalem yang kupencet.

“PUNYA NOMOR TAKSI GAK, ZIANTINE JATUH, HARUS CEPAT DIANTER KE RUMAH SAKIT!” tanyaku panik. “santai kali sob, gak usah pake all-caps ngomongnya. gw udah tau kalau Ziantine jatoh, dari ceje, sekarang kenalan gw udah nunggu di bawah. nanti malam gw nyusul ke rumah sakit, biar nanti ceje yang kasih tau gw.”

aku tak pernah mengerti bagaimana keajaiban bekerja di tanah bumi, tapi di lobi apartemen, seorang supir taksi bernama Jon yang mengaku ditelepon Kolabton setengah jam yang lalu sudah menunggu untuk mengevakuasi Ziantine ke rumah sakit.

Wati aku bawa serta, pahanya bisa menjadi sandaran empuk bagi Ziantine yang aku yakin sekali, di tengah ketidaksadarannya pasti butuh berbaring. kabar baik menyapaku dengan cara-cara yang tak pernah aku mengerti, bagaimana Kolabton bisa mengetahui semua ini, ah lagi-lagi aku tidak peduli. yang kupedulikan sekarang adalah kabar buruknya, rumah sakit terdekat jaraknya bila ditempuh dengan waktu normal akan memakan waktu kurang lebih satu jam.

“tenang sob, di perjalanan, percayakan sama Jon,” sambil menyalakan mobil, sopir taksi itu meyakinkanku untuk tetap tenang. tapi bagaimana bisa ku tenang, bila tak lama kemudian ia menyalakan lintingan ganja dan sekuat tenaga memacu besi kuda.

tidak sampai tiga puluh menit aku memejamkan mata, Jon yang memacu kuda besi secepat cahaya telah mengantarkanku dengan selamat sentosa ke depan pintu gerbang sebuah rumah sakit kandungan. tapi tidak dengan Wati, kulihat ia telah hilang nyawanya sementara, baju cleaning servicenya dipenuhi muntahan yang sedikit banyak juga mengenai wajah Ziantine. aduh, malang nian nasib calon ibu muda ini.

akhirnya aku dan Jon yang mengangkat Ziantine ke tempat dalam rumah sakit. pihak rumah sakit yang sigap segera membawa Ziantine ke unit gawat darurat, aku dan Jon mengantar sampai ruangan yang tegang berima tersebut. petugas yang mengantar kami bertanya, “kenapa ini?” karena aku panik, Jon yang menjawab dengan detil apa yang terjadi pada kami di tangga lantai sembilan. “tadi Kolabton menceritakan padaku di telepon.” aku sudah tidak peduli lagi makhluk seperti apa Jon dan Kolabton ini, yang kupedulikan adalah bagaimana lekas menyelamatkan calon ibu muda yang malang ini dengan jabang bayinya.

dokter menunggu kami menunggu di ruang tunggu, kami juga diminta untuk melengkapi administrasi. aku harap Ziantine anak seorang jutawan, atau minimal dia punya asuransi kesehatan. sebab rumah sakit ini terkenal karena harganya lebih tinggi dari langit.

Jon katanya akan menunggu Kolabton di sini sampai malam, lagipula ia tidak lagi untuk menarik penumpang hari ini karena jok belakangnya sudah diisi seorang wanita tambun yang pingsan dan muntahannya. sambil membikin kopi, aku mengobrol ngalor-ngidul dengan Jon tentang Kolabton. satu ceritanya tentang Kolabton yang membuat bulu kudukku berdiri adalah, konon Kolabton punya indera keenam. setelah bercinta satu malam dengan wanita pojok yang satu, pojokan lainnya konon bisa melihat ‘sosok’, haduh, orang-orang macam apa yang menghuni lantai apartemenku.

tiba-tiba dokter datang membawa kabar buruk, “yang mana dari anda berdua suami Ziantine Larasati?” Jon dengan gesit menunjuk mukaku sebelum sempat ku menunjuk batang hidungnya. aku ragu untuk mengelak, antara kasihan dan takut disalahkan, dokter yang mengiraku suami Ziantine, membawaku ke sebuah ruangan, di mana satu pertanyaan darinya akan mengubahku menjadi seorang pembunuh, untuk selamanya.

“kondisi Bu Ziantine kritis, kemungkinannya selamat amat kecil bila kita memaksa untuk mempertahankan bayinya. sebagai suaminya, saya ingin menanyakan keputusan anda, karena waktunya tak lama lagi, bila Bu Ziantie tak segera di operasi, dua-duanya akan masuk liang lahat bersama. apakah anda masih ingin menyelamatkan anak anda, dengan mengorbankan istri anda?” tanya dokter begitu kejam.

meski nanti dokter tahu aku bukan suaminya, tapi ia sekarang tahu bahwa air mata yang keluar dari mataku ini adalah pantas dikeluarkan oleh setiap ayah yang akan kehilangan calon bayinya. meski nanti dokter tahu aku bukan suaminya, tugasku sekarang adalah menjadi suami pura-pura Ziantine, yang menentukan hidup dan mati Ziantine.

“selamatkan ibunya saja dok!” aku tahu, keputusanku menyelamatkan hidup Ziantine, belum tentu menyelamatkan sisa ‘hidup’ Ziantine. andai selamat nanti, tak seorang pun berani menjamin Ziantine akan berjalan seperti laiknya seorang zombie, as a dead man walking.

aku pulang dan menangis ke ruang tunggu di mana Jon dan Kolabton—yang baru saja tiba—menungguku di sana. ketika ku duduk, Kolabton mencoba menghibur dengan menepuk pundakku. ia berbisik padaku sambil sedikit tersenyum, “tenang, ceje tidak ikut mati, dia akan terus hidup bersamaku kok!”

aku, yang masih tidak mengerti, terus menerus menangis malam itu.

Rasuna Adikara
plot/ seri 01/ eps.004: SI CALON JANIN/ post: #005. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/030-1602.html

2 comments:

  1. yahhhh....sedihhhhh...:((
    pasti cerita selanjutnya di lantai 16 bakal surammm :((

    ReplyDelete
  2. sebaliknya, kupikir makin menarik, si hipie itu masih teler, si jon masih disana, nah rasuna batal jadi bapak, zi?? apa?? itu?? ini??? huauauauauauauaAAAQQQ!!!!!!! ndak sabar baca kelanjutan cerita!!!!!!!!

    ReplyDelete