Lantai 16

7/11/10

#022: 1603

in this story: Kolabton Nawalem

Aku ambil kertas dan pensil. Sketsa. Ya, aku mau membuat sketsa di depan Gedung Sate. Menurutku, selalu ada ptongan cerita di balik keramaian. Itu pasti. Jika kita berhasil menangkap momen-momen kecil nan berharga, hal itu sangat memuaskan. Sama seperti kamera cuma beda medium saja.

Keluar dari pintu, aku periksa kanan-kiri. Kebanyakan penghuni kamar ini masih mendekam di kamarnya. Setelah mengunci pintu kamar, aku usil membuka pintu kamar si hippies yang namanya susah disebut itu. Kolab apa gitu. Seperti biasa, tak terkunci. Bau kamarnya sangat tidak jelas. Apek. Barang-barang berserakan di sana-sini. Sosoknya terlihat terkulai di sofa, bersebelahan dengan gitarnya.

"Grooookkkk... Fiiuuuhhh" Dia ngorok. Dan apa lagi itu? Boneka?! Ada bercak darahnya? Anak ini benar-benar aneh. Makin lama berdiam, makin ganjil yang kurasakan. Mending aku pergi.

*

Si penjaga lobi tak tampak tapi tivi di sudut lobi menyala. Siaran talk show. Kenapa sih semua tivi suka sok-sok demen ngobrol ya. Acara talk show melulu. Topiknya juga kebanyakan ga asik. Skip saja.

"Bwaaaahhhh. SEGAAAARRR" ujarku sambil meregangkan badan saat keluar apartemen Seguni. Dua orang perempuan, dari tampangnya sih kuliahan, cekikikan melihatku. "Jual buah seger, kang?" goda mereka. Hahaha.. mereka berlalu. Jam sembilan pagi. Aku naik angkot menuju Gasibu. Sesampainya di sana, hamparan manusia berjubel laksana semut kena siram gula. Para pedagang dan pembeli tumpah ruah. Mungkin juga ada pencopet dan penculik. Kita tidak pernah tahu, bukan?

Aku mengambil spot di bawah rimbun pohon, di depan gerbang Gedung Sate. Pada hari biasa, tempat ini jadi tongkrongan wartawan Bandung. Dengar-dengan banyak wartawan bodrex sih yang pos liputannya di sini.

Lalu lalang manusia di depanku. Mereka bersliweran tanpa henti. Aku terus memandangi mereka, berusaha mencari momen baik. Meski mentari makin terik. Bandung makin panas, padahal ini baru setengah sepuluh pagi.

Harus fokus. Nah, mungkin karena pakaiannya yang warna oranye nge-jreng, aku memerhatikan seorang ibu. Di seberang sana, sebelah kiri. Umurnya sekitar 40-50an tahun. Dia membeli es krim warna coklat dan merah hati dari sebuah mobil penjual es krim. Ibu itu membawa kedua es krim dengan senyum hangat yang sampai melelehkan es krim itu. Hahaha.. Lebay amat. Terik matahari yang bikin es itu meleleh. Kemudian aku lihat dia mendatangi seorang bapak tua yang duduk di kursi roda. Mungkin itu suaminya. Mereka tersenyum sambil makan es krim. Wah, romantis sekali. Momen tawa berdua itu yang aku tangkap dan kutumpahkan lewat sketsa. 20 menit kemudian sketsa itu rampung.

"Wah, mas gambarnya bagus," kata seorang ibu di sebelahku. Aku cuma tersenyum dan berterima kasih. Ibu itu berpaling lagi. Mungkin karena tidak ada sambutan kata-kata terlontar dari mulutku. Jarang ada yang bilang sketsa bagus. Biasanya orang-orang mencibir karena melihatnya hanya sebagai coretan biasa. Mirip karya bocah. Ah biarlah.

Momen baik datang lagi. Aku lihat dua perempuan muda saling berangkulan dan tertawa lebar. Damai sekali. Aku gambar mereka. Lima belas menit kemudian selesai.

Cuaca terik ini bikin haus juga. Aku beli es krim vanila di tempat ibu tadi membeli es krim. Dinginnya segera meluncur di tenggorokan dan berkoloni di dalam tubuhku. Adem pisan euy. Wah, kali ini ada beberapa objek bagus lagi yang terletak berdekatan: seorang suami yang membelikan bantal berbentuk hati untuk istrinya yang menunggu di mobil, seorang bapak yang menyuapi putrinya yang kira-kira berusia empat tahun (potongan rambut putrinya itu mirip Dora The Explorer!), dan sepasang kakek-nenek yang mengenakan pakaian training lengkap dengan sepatu joging dan saling bergandengan tangan (si kakek mengenakan warna abu-abu, sedangkan si nenek mengenakan warna pink). Manis sekali.

Langsung saja aku urek-urek wujud mereka. Perasaan hangat membasuhku saat menggambar objek-objekku ini. Gambar pertama kuberi judul "Pasangan Es Krim". Gambar kedua kunamai "Rangkulan Sahabat". Lalu yang lainnya berturut-turut aku beri nama "Bantal Hati", "Suapan Kasih Sayang", dan "Tangan yang Memegang Erat". Sebenarnya gambar kakek nenek itu ingin aku kasih nama "Joging Sampai Tua", tapi jatuhnya terkesan komedi, dan sekilas malah mirip judul Goosebumps.

Mungkin saja suatu hari karyaku ini aku tampilkan dalam pameran sketsa. Judulnya sudah ada di benakku: "Kasih yang Sederhana". Cukup syahdu.

Nah, sekarang saatnya makan siang dan pulang. Mau nyoba nasi timbel ah...

Langa Beng Otanga
plot/ seri 01/ eps.003: BIBIT PSIKOPAT DI KEBUN SINGKONG/ post: #007. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/020-1603.html

No comments:

Post a Comment