Lantai 16

7/11/10

#023: 1606

Aku yakin betul, siapapun tak ingin alami keadaan seperti ini: kehilangan.

Pintu kamar itu cacat, terdapat guratan kayu yang menyerupai bentuk zigzag hasil bogemnya. Tak jauh dari pintu itu, tergeletak ponsel yang bentuknya pun tak sempurna lagi. Lemparan kuatnya ke arah dinding membuat tubuh ponsel itu belah dua, alat komunikasi itu menjadi benda yang tak berguna.

Mungkin hanya hitungan menit aku terlelap. Kepala ku sakit akibat tangis yang mengalir deras. Tidur ini hanya terapi untuk menghilangkan rasa sakit yang menyerang kepalaku. Lagi pula, sehabis menangis hidungku mampetnya minta ampun sampai-sampai aku sulit bersuara.

Sebelum lelap datang, dia masih menggenggam jemariku. Aku pun meraba bagian punggung tangannya yang sungguh tak mulus itu: terdapat beberapa luka lecet dengan darah mengering. Aku lantas terngiang ucapannya tiga tahun lalu, saat pertama kami bertengkar: biarlah tubuhku yang remuk karena aku tak ingin melampiaskan emosi ini ke tubuhmu. Jangan sampai.

Kami sama-sama menenangkan diri dalam keheningan pasca badai besar yang habiskan tenaga. Aku menyukai saat-saat ini, di mana amarahnya reda dan mulai lunak. Tak ada dialog, bahasa menyusup dalam setiap belaian dan tatapan.

Tak ada lagi ego binatang buasnya. Ia bertransformasi jadi seorang ayah, melindungi dan bijak. Ya, kekasihku itu punya segala peran: ayah, pacar, kakak, bayi, bahkan musuh untuk ku.
Aku ingin waktu berhenti. Aku ingin detik jam tak lagi berbunyi. Ingin menit-menit dalam tidurku ini menjadi selamanya. Ingin tetap lelap dengan jemariku yang berada dalam genggamannya. Ingin….

Ngeeeeeeeekkkkk…

Tiba-tiba suara pintu ditutup pelan. Reflek, telingaku memberikan warning kepada kedua mataku untuk melek sejenak. Aku terhenyak, jemariku terasa keram, jantungku berdegup kencang akibat suhu dingin yang mulai terasa. Belum lagi sembuh, sakit itu datang lagi ke kepalaku. Kali ini datang bertubi-tubi. Aku tak bergerak, masih meringkuk menatap pintu yang habis ditutup dengan pelan-pelan tadi. Dia lagi-lagi menghilang. Dia hanya meninabobokanku agar aku tak bisa melihatnya berjalan kea rah pintu, bahkan untuk melihat punggungnya pun aku tidak diperbolehkannya.

Aku masih menatap pintu apartemenku, tak ada upaya untuk mengejarnya keluar, tak ada upaya untuk menyaksikan langkahnya menyeberangi jalan raya dari balkon tempat kami bercinta semalam.

Dan inilah momen dimana aku merasa hidup itu kosong: aku melampaui kesedihan hingga rasa itu menjadi hambar. Seluruh organ tubuhku pun terasa tak bekerja seakan ada program turn off
di tubuh ini.Bahkan kepergianmu yang hanya meninggalkan bunyi pintu itu membuatku kehilangan segalanya, termasuk semangat hidup dan kemampuan mengecap rasa di jiwa.

Florisia Rainarki

plot/ seri 01/ eps.002: SHERRY/ post: #003. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/019-1606.html

No comments:

Post a Comment