in this story: Ziantine Larasati
Air kran di wastafel aku biarkan mengucur perlahan. Bunyinya nyaring menendang alumunium di bawahnya. Aku menadahkan kedua tanganku mengambil air yang tidak terlalu dingin tersebut. Kepalaku turun sedikit dan air itu kutempiaskan ke wajahku. Segar. Aku berkaca. Agak acak-acakan memang tampilanku, terlebih lagi ditambah mata sembap.
Aku belum berganti pakaian. Hanya dompet dan kunci kamar yang aku bawa. Sarapan nasi kuning adalah tujuanku keluar sekalian menikmati Bandung pagi menjelang siang ini. Niatku ke Gasibu karena ada pasar rakyat di sana. Kenop pintu aku putar. Udara luar menyapaku. Kuhirup perlahan. Tiba-tiba ada suara "hoooeeekk" dari kamar depan. Berulang-ulang.
Aku takut terjadi apa-apa, maka aku ketuk pintu, tapi si penghuni kamar lebih fokus ke muntahnya. Aku buka pintunya yang ternyata tak dikunci, tapi aku tidak asal selonong boy. Aku kembali ke kamar dan mengambil tisu yang biasa untuk mengelap anak-anakku yang tak jadi. Di balik dinding, kulihat perempuan itu membungkuk di wastafel.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyaku ke perempuan itu. Dia menoleh dengan tampang blo'on. Mungkin karena syok berpikir siapa aku yang main masuk-masuk saja tanpa bilang-bilang.
"Aku nggak apa-apa," jawabnya. Aneh betul. Jelas sekali dia muntah-muntah hebat. Aku juga terkadang seperti perempuan ini, namun berbeda. Aku batuk-batuk hebat. Bronkitis sialan!
"Sejak kapan muntah-muntah jadi hal yang wajar?" tanyaku rada bawel. Siapa sih aku? Asal bawel ke orang yang baru dikenal. Dia menjelaskan dirinya sedang hamil muda. Masih muda sudah hamil muda. Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan lelaki di kamar ini. Jari manisnya pun tidak terlihat ada cincin tersemat. Ah, tapi apa peduliku.
Menyadari aku belum memberitahu namaku, aku memperkenalkan diri. "Aku Beng. Penghuni kamar 1603. Persis di depan kamar kamu," kataku. Kemudian dia memperkenalkan dirinya sebagai Ziantine Larasati. "Panggil aku Zi," ucapnya ramah, namun dengan sisa wajah sempoyongan.
Aku sudah terbiasa berkenalan tanpa bersalaman. Sekarang pun seperti itu. Namun itu bukan masalah bagiku karena aku sudah terbiasa berkenalan tanpa bersalaman. Terlalu formal menurutku.
Dan dengan ramahnya, Zi, yang tertangkap sedang memerhatikanku dari ujung rambut ke ujung kaki, menawarkan sarapan nasi goreng. Wah, baik juga ini orang. Sebenarnya aku mau makan nasi kuning tapi jangan menolak rejeki. Hehehe...
Sembari menunggunya masak sarapan, aku lihat-lihat ke jendela luar. Kok kayak ada suara jepretan kamera ya? Ada blitz-nya pula. Apa itu stalker? Ah ga tau lah. Lalu aku perhatikan lukisan abstrak yang tadi sudah aku lihat sebelumnya. Menarik sekali gambar itu: sebuah jam peyang yang jatuh seperti meteor di atas kota. Mirip karya Dali.
Bunyi piring berdenting. Aku menoleh. Rupanya sarapan telah siap. Nasi goreng dalam mangkuk, bukan piring. Unik sekali. Asap mengepul dari nasi goreng yang ada daging sapinya itu. Plus keju pula. Wow! Aku duduk dan mencoba menelan suapan pertama dari mangkok itu, tapi bunyi ceklik-ceklik di luar sana menggangguku. Aku memberi tahu Zi tentang apa yang kudengar. Dia tidak mendengarnya.
Ah sudahlah. Lebih baik kudahup saja makanan nikmat ini. Lebih baik diam saat makan. Sebab kalau tidak diam, makanan akan terasa hambar dan aku akan babak belur dipukuli. Seperti waktu kecil dulu.
Langa Beng Otanga
plot/ seri 01/ eps.003: BIBIT PSIKOPAT DI KEBUN SINGKONG/ post: #005. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/in-this-story-langa-beng-otanga-sudah.html
Air kran di wastafel aku biarkan mengucur perlahan. Bunyinya nyaring menendang alumunium di bawahnya. Aku menadahkan kedua tanganku mengambil air yang tidak terlalu dingin tersebut. Kepalaku turun sedikit dan air itu kutempiaskan ke wajahku. Segar. Aku berkaca. Agak acak-acakan memang tampilanku, terlebih lagi ditambah mata sembap.
Aku belum berganti pakaian. Hanya dompet dan kunci kamar yang aku bawa. Sarapan nasi kuning adalah tujuanku keluar sekalian menikmati Bandung pagi menjelang siang ini. Niatku ke Gasibu karena ada pasar rakyat di sana. Kenop pintu aku putar. Udara luar menyapaku. Kuhirup perlahan. Tiba-tiba ada suara "hoooeeekk" dari kamar depan. Berulang-ulang.
Aku takut terjadi apa-apa, maka aku ketuk pintu, tapi si penghuni kamar lebih fokus ke muntahnya. Aku buka pintunya yang ternyata tak dikunci, tapi aku tidak asal selonong boy. Aku kembali ke kamar dan mengambil tisu yang biasa untuk mengelap anak-anakku yang tak jadi. Di balik dinding, kulihat perempuan itu membungkuk di wastafel.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyaku ke perempuan itu. Dia menoleh dengan tampang blo'on. Mungkin karena syok berpikir siapa aku yang main masuk-masuk saja tanpa bilang-bilang.
"Aku nggak apa-apa," jawabnya. Aneh betul. Jelas sekali dia muntah-muntah hebat. Aku juga terkadang seperti perempuan ini, namun berbeda. Aku batuk-batuk hebat. Bronkitis sialan!
"Sejak kapan muntah-muntah jadi hal yang wajar?" tanyaku rada bawel. Siapa sih aku? Asal bawel ke orang yang baru dikenal. Dia menjelaskan dirinya sedang hamil muda. Masih muda sudah hamil muda. Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan lelaki di kamar ini. Jari manisnya pun tidak terlihat ada cincin tersemat. Ah, tapi apa peduliku.
Menyadari aku belum memberitahu namaku, aku memperkenalkan diri. "Aku Beng. Penghuni kamar 1603. Persis di depan kamar kamu," kataku. Kemudian dia memperkenalkan dirinya sebagai Ziantine Larasati. "Panggil aku Zi," ucapnya ramah, namun dengan sisa wajah sempoyongan.
Aku sudah terbiasa berkenalan tanpa bersalaman. Sekarang pun seperti itu. Namun itu bukan masalah bagiku karena aku sudah terbiasa berkenalan tanpa bersalaman. Terlalu formal menurutku.
Dan dengan ramahnya, Zi, yang tertangkap sedang memerhatikanku dari ujung rambut ke ujung kaki, menawarkan sarapan nasi goreng. Wah, baik juga ini orang. Sebenarnya aku mau makan nasi kuning tapi jangan menolak rejeki. Hehehe...
Sembari menunggunya masak sarapan, aku lihat-lihat ke jendela luar. Kok kayak ada suara jepretan kamera ya? Ada blitz-nya pula. Apa itu stalker? Ah ga tau lah. Lalu aku perhatikan lukisan abstrak yang tadi sudah aku lihat sebelumnya. Menarik sekali gambar itu: sebuah jam peyang yang jatuh seperti meteor di atas kota. Mirip karya Dali.
Bunyi piring berdenting. Aku menoleh. Rupanya sarapan telah siap. Nasi goreng dalam mangkuk, bukan piring. Unik sekali. Asap mengepul dari nasi goreng yang ada daging sapinya itu. Plus keju pula. Wow! Aku duduk dan mencoba menelan suapan pertama dari mangkok itu, tapi bunyi ceklik-ceklik di luar sana menggangguku. Aku memberi tahu Zi tentang apa yang kudengar. Dia tidak mendengarnya.
Ah sudahlah. Lebih baik kudahup saja makanan nikmat ini. Lebih baik diam saat makan. Sebab kalau tidak diam, makanan akan terasa hambar dan aku akan babak belur dipukuli. Seperti waktu kecil dulu.
Langa Beng Otanga
plot/ seri 01/ eps.003: BIBIT PSIKOPAT DI KEBUN SINGKONG/ post: #005. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/in-this-story-langa-beng-otanga-sudah.html
No comments:
Post a Comment