Lantai 16

7/9/10

#019: 1606

in this story: Sherry

Malam itu resmi sudah aku menjadi penghuni apartemen bernomor 1606. Angka yang bagus, pikirku. Tampaknya aku memang berjodoh dengan angka 6. Setelah negosiasi dengan si empunya gedung ini mengenai harga sewa, aku mulai mendiami ruang yang masih berbau jamur, lama tak ditempati. “Dulu yang tinggal disini, satu keluarga, lengkap dengan kakek nenek, sekarang si kepala keluarga sudah mulai kredit rumah murah,” ucap Ibu pemilik yang sudah mulai menua namun tetap stylish itu.

Kreeekkkkkk… pintu 1606 yang warna catnya mulai pudar itu kubuka. “Selamat datang di Ruangmu, Rainarki,”

*

Pandangku mulai mengarah ke semua penjuru ruang baru ini, masih mengenakan ransel yang berisi pakaian dan peralatan tempur lainnya, aku menghela nafas panjang. Banyak yang perlu dibenahi dan dilengkapi untuk ruang baru ini, pikirku. Setelah mengitari kamar mandi dan dapur mini apartemen ini, aku bergegas menuju tempat favoritku di setiap bagian rumah, balkon.

Sembari menggandeng Bovi ke balkon, kubisikkan kata mesra ke telinganya,”Kita mesti bercinta saat tengah malam di balkon ini, I dare u babe,” ucapku mesra. Bovi tersenyum. “Ya, we should try,” balasnya menerima tantanganku.

Setelah menemaniku beberapa jam, Bovia pamit pulang. Ia tak bisa menemaniku di malam pertama, maklum dia pria yang punya kerjaan seabrek. Tepat pukul 11 malam, Bovi izin pulang.

“Silakan nikmati ruang barumu, aku percaya kamu ingin sendiri merayakannya,” Bovi paham betul dengan diriku yang sering melakukan perayaan seorang diri di setiap momen hidupku.

“Ya, moga kamu cepet dapet tambal bannya ya, coba tanya- tanya aja ke pangkalan ojek di depan,” ucapku sambil memeluk tubuhnya.

Hening dan semakin dingin. Ku rogoh saku coat yang aku kenakan, mengambil sebatang rokok menthol ala Amerika. Asap mengepul di udara, membuat visualisasi indah. Hening…aku pun diam barang beberapa saat, tak melakukan gerakan apapun, hanya duduk bersila di lantai balkon. Kurasakan tubuhku semakin menggigil. Api rokokku mulai mendekati filternya, ku letakkan di lantai lalu kumatikan dengan menginjaknya melalui sepatu kets bututku.

Malam ini sungguh letih, tanpa melakukan ritual sebelum tidur – cuci muka sikat gigi – ku rebahkan tubuhku di kasur pegas yang berukuran mini, tanpa seprai, tanpa bantal-guling, tanpa selimut. Tubuhku masih menggigil, daya tahan tubuhku sebenarnya sudah amat sangat teramat lemah, aku butuh tidur namun tidak dalam keadaan seperti ini. Setidaknya bantal bisa kuganti dengan ransel, namun selimut? Tampaknya aku sangat butuh kain berbahan tebal itu untuk menghangatkan tubuhku. Aku hanya bisa meringkuk di tengah kegelapan ruang dengan mata terpejam namun telinga masih awas.

Uhhh ooohhh…awwww,,, yes beibbb….oooohhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh,,,

Suara perempuan itu semakin melengking tanda nikmat. Masih ada kehidupan rupanya di balik tembok ruangku. Tiba-tiba lampu pijar menyala di otakku. “Aha, artinya aku bisa menggedor apartemen sebelah dan meminjam selimutnya!”

Tapi, tampaknya permainan dua insan di tembok sebelah belum berakhir. Teriakan itu masih terdengar.. uuhhh ooooohhhhh. “Sial, ku kira dia sudah klimaks,” tubuhku sekarang betul-betul mepet ke dinding dan serius mendengar setiap jeritan dan desahan napas mereka.

Aku bimbang. Aku tak ingin menganggu percintaan perempuan itu. Lagipula aku paham sangat tak asik kalau bercinta setengah-setengah. “Oh Bovia, saat ini aku menginginkan tubuhmu sebagai penghangatku,” aku semakin meringkuk dengan kepala yang semakin menempel ke dinding.

Kreekkkkkkkk, terdengar suara pintu geser balkon sebelah terbuka. “Aha, perempuan itu keluar! Ini kesempatanku!,” aku langsung beranjak dari kasur dan menuju balkonku. “Hi,” aku melemparkan senyum ke perempuan itu. Sembari menghidupkan rokoknya, perempuan yang mengenakan tank top dengan rambut terurai berantakan itu membalas senyumku.

“Halo, baru ya? Rokok?” balasnya sambil menawarkan rokok menthol sama dengan punyaku.
thanks,”
“Oya, tadi gue berisik ya? Pasti lo keganggu..hehehe,” ucapnya lagi sembari menyanggahkan tubuhnya ke besi balkon.
“Kedengaran sih iya, soalnya kan kasur gue pas banget nempel di dinding pembatas ruang kita. Emm mungkin besok gue atur lagi deh penataan apartemen gue. Tapi, gue seneng kok denger suara lo tadi,” paparku.
“Seneng? Maksudnya apa tuh?” perempuan itu heran dengan akhir kalimatku tadi.
“Iya, seneng artinya ada orang di sebelah gue. Dan artinya lagi sebentar lagi gue bisa tidur dengan hangat. Karena, gue pengen pinjem selimut lo. Gue cuma bawa satu ransel doang dari kampung gue ke sini,” jelasku.
“Ya ampun, kasiann banget lo…coba dari tadi aja gedor kamar gue,” ujarnya iba. Ia segera membuang putung rokoknya ke asbak yang ada di atas meja balkon. “Bentar ya gue ambil dulu,” ujarnya.

Ia beranjak tinggalkan balkon sejenak dan menuju lemarinya mengambil selimut cadangannya.
“Nih gue emang punya dua selimut kok, lo pake aja dulu,” Ia menyodorkan selimut itu dari balkonnya.

“Makasih banget ya, tanpa gue denger teriakan lo tadi mungkin gue hiportermia deh,” ucapku sembari menerima sodoran selimut tebal berwarna hijau itu.

Ia tersenyum. Tak lama terdengar suara pria dari dalam apartemennya. “Sherry, handphone
kamu bunyi,”
“Eh, ke dalem dulu ya..pakek aja selimutnya, santai sama gue mah,” Ia masuk lagi sembari melambaikan tangannya.

Aku kembali menuju kasur mini tanpa seprai, tanpa bantal, tanpa guling itu. Namun, berkat jeritan nikmat Sherry, aku bisa tidur dalam kehangatan. Bagiku saat ini, tiada hal yang paling enak di dunia kecuali satu, meringkuk dalam balik selimut kala dingin selepas hujan menyapamu.

Florisia Rainarki
plot/ seri 01/ eps.002: SHERRY/ post: #002. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/010-1606.html

No comments:

Post a Comment