Lantai 16

7/9/10

#017: 1601

in this story: Langa Beng Otanga

Sudah minggu pagi lagi. Tapi kali ini aku tak kesiangan bangun seperti hari-hari pertama di apartemen ini. Aku menyambut matahari di balkon ditemani sepotong roti dan segelas susu khusus ibu hamil. Dipangkuanku ada manuskrip berbahasa Inggris, pekerjaan yang menanti untuk diselesaikan. Ya, setelah bercerai dengan membawa janin ini aku memutuskan kembali berkarier. Untung jam terbangku sebagai translator sudah cukup tinggi hingga aku tak begitu sulit mendapatkan pekerjaan ini lagi.

Sampai kini aku tidak mengerti kenapa aku dulu begitu patuh pada suami. Sebelum menikah dia memintaku melepaskan satu per satu pekerjaan. Dimulai dari profesiku sebagai interpreter di sebuah perusahaan multinasional, lalu pekerjaanku sebagai penyunting naskah lepas di sebuah perusahaan penerbitan dan yang terakhir adalah proyek terjemahan yang dia minta untuk dikurangi dan akhirnya berhenti sama sekali. Alasannya kala itu adalah dia tidak mau istrinya bekerja padahal semua kebutuhan sudah tercukupi. Baru kuketahui setelahnya bahwa orangtuanyalah yang menginginkan aku jadi istri rumahan. Apalagi mantan suamiku itu berstatus bungsu dan lelaki satu-satunya selain itu dia sudah ditahbiskan sejak dulu untuk tidak pernah jauh dari ibu.

Hidup di perumahan mertua indah sangat tidak menyenangkan. Pertanyaan pertama yang diajukan ibu mertuaku tiap pagi adalah "Laras, mau kemana kamu hari ini?". Jika aku bilang akan pergi, selalu ditanya detail pergi kemana, dengan siapa, pulang jam berapa. Jika aku bilang tidak ada rencana apa-apa maka sudah pasti pangkatku hari itu adalah menjadi supir pribadi. Meski ada pembantu, tapi tetap aku yang harus masak, mencuci baju dan menyetrika. Ibu mertuaku bilang urusan perut dan penampilan menjadi tanggung jawabku sebagaimana tanggungjawabnya dulu. Duh.

Cukup lima tahun aku hidup disana. Tahun-tahun pertama keluarga mertuaku selalu menantikan kapan aku hamil dan memberi cucu tapi begitu aku hamil mereka malah tak senang. Dibilangnya aku tak mengerti keadaan keluarga. Saat itu mantan suamiku baru dimutasi, entah apa kesalahannya, penghasilannya pun berkurang hampir setengahnya. "we can't afford to have a baby!" teriaknya suatu malam dengan mulut bau alkohol.

Teriakan itu bersambung pada permintaannya untuk mengugurkan janinku. permintaan yang tak bisa kuloloskan. Dan dia memarahiku, mencaci-maki dan sempat menendang perutku. Untung tidak terjadi pendarahan. Malam itu juga aku kemasi barang-barangku dan langsung melayang ke sebuah hotel. Untungnya sisa-sisa penghasilanku masih tersimpan di tabungan, begitupun deposito lama hasil jerih payahku bekerja di tiga tempat sekaligus.

Aku sebetulnya berharap dia akan menjemputku dan meminta maaf. Tapi yang datang kemudian hanya supir keluarga yang membawa surat cerai untuk ditandatangani. Aku langsung mendidih. Sekalian saja kukembalikan cincin dan mas kawin yang sempat dia berikan padaku. Kami resmi bercerai seminggu setelahnya. pertemuan terakhirku dengannya adalah di pengadilan. Dia diapit orang tuanya dan sempat mengatai-ngataiku sebagai istri yang tidak patuh dan pecicilan. Lucunya lagi dia bilang janin di rahimku bukan benihnya. Cih. memang dengan siapa lagi aku bercinta? aku tidak pernah keluar rumah tanpa sepengetahuan nyonya. Parah.

Ah. Mengingat lelaki brengsek itu masih juga membuatku mendidih. Aku lantas meneguk susu sampai tandas. Namun kenapa susunya terasa asam dimulutku? serangan mual langsung datang setelahnya. Ah, jadwal morning sickness is up this morning.

Aku berlari ke wastafel, segera menumpahkan sarapan pagiku kala itu.

"Kamu ngga apa-apa?" suara rendah muncul dari pintu apartemen.

Aku mendongak dengan mulut yang masih menganga. Baru beberapa detik kemudian aku sadar bahwa muntahanku belum diguyur air dan mulutku ada pada posisi yang membuat wajahku tampak bodoh. Lelaki itu masuk sebelum aku persilahkan, dia menyodorkan tisu padaku. Sambil mengambil tisu ditangannya aku dapat menangkap semburat kekhawatiran dari garis wajahnya yang kaku.

"Aku gak apa-apa. Ini wajar kok"
"Sejak kapan muntah-muntah jadi hal yang wajar?!" katanya gusar.
Aku bengong kukira semua penghuni lantai ini sudah tahu bahwa aku sedang hamil muda.
"Aku sedang hamil muda. Jadi.. wajar kan kena morning sickness?!" ucapku retoris.
"Oh.." sekilas aku menangkap matanya mengamati perutku dan berpindah ke jari manisku yang telanjang dan tanpa cincin.

Aku sedang mengingat-ngingat siapa orang yang tiba-tiba masuk ke dalam apartemenku ini. Wajahnya terasa familiar, begitupun kausnya yang penuh noda cat.

"Aku Beng! Penghuni kamar sebelah. Kudengar suara kau muntah begitu keras waktu aku keluar kamar. Kukira kau kenapa-kenapa " ujarnya menjelaskan.
Oh, Beng si pelukis yang jarang keluar itu rupanya.
"Aku Zi. Ziantine Larasati. Dan janin di rahimku belum bernama," ujarku.

Kami tak bersalaman selayaknya orang yang baru berkenalan. Yang ada Beng malah mengamati kamarku dan aku bengong mengamatinya. Kalau bertemu di jalan dan meihat garis wajahnya yang kasar aku pasti tak percaya dia seniman. Yah, aku belum pernah melihat karyanya sih tapi begitulah informasi yang kudapat dari pengurus apartemen kalau penghuni kamar sebelah adalah Beng si pelukis.

Perutku lapar lagi, dibenakku tergambar nasi goreng daging sapi dengan potongan keju di atasnya. Tapi tak enak rasanya mengusir tamu pertamaku di apartemen ini.Akhirnya aku memutuskan untuk mengajaknya sarapan bersama.

"Beng, mau sarapan bareng?"
"Ha?" dia melongo. mungkin terkejut karena aku bertanya saat dia termangu melihat satu-satunya penghias dinding. Si lukisan abstrak karya temanku.
"Tunggu ya, aku akan membuat nasi goreng untuk kita berdua. Maklum wanita hamil cepat laparnya." ujarku sambil membuka kulkas dan mengeluarkan bahan-bahan makanan.
Beng tidak bersuara lagi. jadi kuanggap dia mau-mau saja sarapan bersama. lagipula siapa sih yang bisa menolak sebuah tawaran gratis?

Bawang merah, bawang putih, bawang bombay dan cabe merah kutumis dalam wajan. Harum tumisan menggelitik indera penciumanku, akhirnya berturut-turut kumasukkan telur, nasi dan irisan daging asap. Masukkan garam, penyedap rasa dan kecap. Nasi goreng-ku sudah 95% komplit tinggal tambahkan keju mozarella di atasnya dan siap disantap.

Aku membawa piring itu ke meja makan. Beng sedang melihat ke luar dari jendela samping. Dia mungkin mendengarku meletakkan piring karena dia langsung menoleh ke arahku.

"Aku mendengar suara ceklak-ceklik dan melihat beberapa kilat cahaya dari gedung seberang sana," ujarnya tiba-tiba
aku hanya mengangguk-angguk "Makan, Beng?!" aku menawarinya.
Dia kemudian duduk di hadapanku. Mulai mengambil sendok dan makan.
Kami tidak bicara lagi. Namun sesekali dia melihat ke jendela samping, mungkin dia mendengar suara ceklak-ceklik lagi yang tidak sampai ke telingaku.

Ziantine Larasati
plot/ seri 01/ eps.003: BIBIT PSIKOPAT DI KEBUN SINGKONG/ post: #003. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/006-1601.html

No comments:

Post a Comment