Aku mundur perlahan melihat darah yang mengalir di pintu itu memanggil namaku. Darah itu menyembur seperti air yang keluar dari balon bocor. Secara lambat darah itu menghampiriku.
"Beng..."
Ada suara ibu di situ. Perempuan yang paling aku takuti. Suara itu begitu mencekam.
"Tak mungkin itu ibu," pikirku. Ibu sudah lama mati. Dia dan ketiga adikku digorok tetanggaku yang sakit jiwa.
*
Waktu itu aku masih kelas enam SD. Suatu hari aku pulang ke rumah sepulang sekolah. Aku mengetuk pintu, memanggil ibu dan ketiga adikku. Lengang. Perasaan ganjil menyelimutiku. Tidak biasanya mereka begitu. Adik-adikku biasanya langsung ribut dan ibuku akan menyambutku dengan wajah ketus. Wajah ketus yang tak pernah aku ketahui penyebabnya.
Aku tempelkan wajahku ke jendela. Hanya ada televisi 14 inchi dengan antenanya yang membentuk huruf V yang terletak di tengah lemari perabotan dan pernak-pernik tak penting koleksi ibuku. Televisi itu semutan. Setelah aku perhatikan lebih jauh, aku melihat ada tali tergantung tinggi di belakang lemari. Itu kan meja makan. Kok bisa ada tali?
Aku tarik gagang pintu tapi tak mau terbuka. Terkunci. Aku berlari memutar halaman belakang. Astaga. Ada bercak darah. Banyak sekali. Di balik pepohonan singkong, ibu dan dua adikku tergeletak tak bernyawa. Leher ketiganya digorok. Merah. Anyir. Aku menangis. Tapi kata "tolong" tak mampu keluar dari kerongkonganku. Aku tercekat. Mana adikku yang satu lagi?
Dengan perasaan takut, marah, sedih, aku masuk lewat pintu belakang yang tak dikunci. Di atas meja makan itu, adikku digantung, ususnya terburai. Umurnya baru enam bulan waktu itu. Di situ aku meraung.
Aku tidak ingat bagaimana ketika bapak pulang dan bagaimana sudah ada polisi setelahnya. Yang kuingat, bapak sangat sedih. Tapi dia tidak menangis. Dia hanya diam dan menggeleng tidak tahu saat ditanya-tanya oleh polisi dan wartawan. Wajahnya pucat pasi seakan ini adalah kejutan paling buruk dalam hidupnya. Kerumunan warga berdesak-desakan di sekitar rumah kami. Mereka mau tahu. Orang-orang selalu ingin tahu meski sudah ada police line menghalangi.
Penyelidikan dilakukan dan akhirnya terbukti tetanggaku itu pelakunya. Alasan dia membunuh ibu dan adik-adikku dengan sadis cukup sederhana: mereka menginjak kebun singkongnya. Banyak hal yang sulit dijelaskan di dunia ini. Banyak logika yang rancu dan tidak berdasar namun menjadi keabsahan yang entah mengapa diterima umum. Termasuk membunuh dengan alasan sesepele itu.
Sejak kejadian itu, bapakku menjadi pendiam. Dia bahkan meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai di kantor Walikota DKI. Dia pulang kampung dan menikah lagi dengan seorang perempuan di sana. Konon ayahku membuka usaha pemancingan untuk melanjutkan hidup. Aku tidak tahu jelasnya bagaimana. Yang pasti, aku dijadikan anak angkat oleh pak walikota setelah kejadian itu. Hidup bersama keluarga pak walikota membuatku mulai menyukai seni dan dunia tulis menulis. Dialah yang menyekolahkanku sampai tamat di FSRD ITB. Meski bahgaia, selama tinggal bersama mereka, mimpi-mimpi buruk tentang masa kecilku terus ada.
***
Tiba-tiba wajah ibuku muncul di depanku dan mencekikku.
"Beng," geramnya.
Aku tak mampu melawan. Tubuhku menyusut menjadi anak kecil. Dan aku hanya mampu menangis.
"Ampun, ibu..."
***
"Bangun, Beng" lembut suara Yuri. Dia di hadapanku kini.
Yuri membelaiku dan aku terbangun. "Yuri," panggilku. Tapi tidak ada. Sosoknya menguap. rupanya aku tertidur semalam. Aku mengusap mata. Mataku sembap karena menangis akibat mimpi buruk semalam yang terasa baru saja. Mimpi yang berulang-ulang itu.
Di luar, matahari bersinar nyalang lewat balkon, menyelusup tirai yang telah kucoret-coret gambar, membentuk pijar pipih berdebu, melalui sofa yang tempatku berbaring. Jam menunjukkan pukul delapan.
Sekarang sudah minggu pagi rupanya. Saatnya keluar.
Langa Beng Otanga
plot/ seri 01/ eps.003: BIBIT PSIKOPAT DI KEBUN SINGKONG/ post: #004. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/015-1603.html
"Beng..."
Ada suara ibu di situ. Perempuan yang paling aku takuti. Suara itu begitu mencekam.
"Tak mungkin itu ibu," pikirku. Ibu sudah lama mati. Dia dan ketiga adikku digorok tetanggaku yang sakit jiwa.
*
Waktu itu aku masih kelas enam SD. Suatu hari aku pulang ke rumah sepulang sekolah. Aku mengetuk pintu, memanggil ibu dan ketiga adikku. Lengang. Perasaan ganjil menyelimutiku. Tidak biasanya mereka begitu. Adik-adikku biasanya langsung ribut dan ibuku akan menyambutku dengan wajah ketus. Wajah ketus yang tak pernah aku ketahui penyebabnya.
Aku tempelkan wajahku ke jendela. Hanya ada televisi 14 inchi dengan antenanya yang membentuk huruf V yang terletak di tengah lemari perabotan dan pernak-pernik tak penting koleksi ibuku. Televisi itu semutan. Setelah aku perhatikan lebih jauh, aku melihat ada tali tergantung tinggi di belakang lemari. Itu kan meja makan. Kok bisa ada tali?
Aku tarik gagang pintu tapi tak mau terbuka. Terkunci. Aku berlari memutar halaman belakang. Astaga. Ada bercak darah. Banyak sekali. Di balik pepohonan singkong, ibu dan dua adikku tergeletak tak bernyawa. Leher ketiganya digorok. Merah. Anyir. Aku menangis. Tapi kata "tolong" tak mampu keluar dari kerongkonganku. Aku tercekat. Mana adikku yang satu lagi?
Dengan perasaan takut, marah, sedih, aku masuk lewat pintu belakang yang tak dikunci. Di atas meja makan itu, adikku digantung, ususnya terburai. Umurnya baru enam bulan waktu itu. Di situ aku meraung.
Aku tidak ingat bagaimana ketika bapak pulang dan bagaimana sudah ada polisi setelahnya. Yang kuingat, bapak sangat sedih. Tapi dia tidak menangis. Dia hanya diam dan menggeleng tidak tahu saat ditanya-tanya oleh polisi dan wartawan. Wajahnya pucat pasi seakan ini adalah kejutan paling buruk dalam hidupnya. Kerumunan warga berdesak-desakan di sekitar rumah kami. Mereka mau tahu. Orang-orang selalu ingin tahu meski sudah ada police line menghalangi.
Penyelidikan dilakukan dan akhirnya terbukti tetanggaku itu pelakunya. Alasan dia membunuh ibu dan adik-adikku dengan sadis cukup sederhana: mereka menginjak kebun singkongnya. Banyak hal yang sulit dijelaskan di dunia ini. Banyak logika yang rancu dan tidak berdasar namun menjadi keabsahan yang entah mengapa diterima umum. Termasuk membunuh dengan alasan sesepele itu.
Sejak kejadian itu, bapakku menjadi pendiam. Dia bahkan meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai di kantor Walikota DKI. Dia pulang kampung dan menikah lagi dengan seorang perempuan di sana. Konon ayahku membuka usaha pemancingan untuk melanjutkan hidup. Aku tidak tahu jelasnya bagaimana. Yang pasti, aku dijadikan anak angkat oleh pak walikota setelah kejadian itu. Hidup bersama keluarga pak walikota membuatku mulai menyukai seni dan dunia tulis menulis. Dialah yang menyekolahkanku sampai tamat di FSRD ITB. Meski bahgaia, selama tinggal bersama mereka, mimpi-mimpi buruk tentang masa kecilku terus ada.
***
Tiba-tiba wajah ibuku muncul di depanku dan mencekikku.
"Beng," geramnya.
Aku tak mampu melawan. Tubuhku menyusut menjadi anak kecil. Dan aku hanya mampu menangis.
"Ampun, ibu..."
***
"Bangun, Beng" lembut suara Yuri. Dia di hadapanku kini.
Yuri membelaiku dan aku terbangun. "Yuri," panggilku. Tapi tidak ada. Sosoknya menguap. rupanya aku tertidur semalam. Aku mengusap mata. Mataku sembap karena menangis akibat mimpi buruk semalam yang terasa baru saja. Mimpi yang berulang-ulang itu.
Di luar, matahari bersinar nyalang lewat balkon, menyelusup tirai yang telah kucoret-coret gambar, membentuk pijar pipih berdebu, melalui sofa yang tempatku berbaring. Jam menunjukkan pukul delapan.
Sekarang sudah minggu pagi rupanya. Saatnya keluar.
Langa Beng Otanga
plot/ seri 01/ eps.003: BIBIT PSIKOPAT DI KEBUN SINGKONG/ post: #004. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/015-1603.html
No comments:
Post a Comment