in this story: Kolabton Nawalem, Rasuna Adikara
Hari ini terasa melelahkan sekali. Mungkin bawaan rapat deadline pertama bulan ini yang sangat alot sampai memakan jadwal lulurku. "Ah, sial! Ga jadi luluran kan minggu ini. Mana sempet besok-besok lagi," gerutuku sambil menyenderkan kepala ke jendela taksi biru ini. Luluran di salon langgananku memang sudah jadwalnya kalau selesai deadline begini, demi relaksasi. Minggu ini malah tidak jadi.
Hari ini terasa melelahkan sekali. Mungkin bawaan rapat deadline pertama bulan ini yang sangat alot sampai memakan jadwal lulurku. "Ah, sial! Ga jadi luluran kan minggu ini. Mana sempet besok-besok lagi," gerutuku sambil menyenderkan kepala ke jendela taksi biru ini. Luluran di salon langgananku memang sudah jadwalnya kalau selesai deadline begini, demi relaksasi. Minggu ini malah tidak jadi.
Rasanya ingin segera sampai di rumah. Ya, rumah. Apartemen kecilku itu kini sudah bisa kusebut 'rumah', dibandingkan rumah asli masa kecilku yang notabene adalah rumah orang tuaku. Di sana sudah tidak nyaman lagi. Penuh cek-cok sana sini. Ini salah satunya alasanku pindah ke apartemen Seguni ini. Meskipun kecil, namun membawa ketenangan untuk hidupku yang cukup ruwet ini.
Kulihat Guess emasku, sudah jam sepuluh lebih. "Pak, tolong dipercepat ya, lewat mana gitu, terserah deh," ujarku pada si pak supir taksi. "Baik neng," ujar si bapak taksi sambil melirikku lewat spion atas. Kuputuskan untuk memejamkan mata sejenak berharap akan memangkas waktu di taksi ini.
"Neng, sudah sampai," sentuhan si supir taksi membangunkan nyenyakku di alam tadi. "Oh? Sudah sampe? Iya, iya, sebentar pak," ujarku seraya membereskan tatanan rambut dan memakai kembali si hak tinggi. "Berapa?" "35 ribu neng," "Ini pak, ambil saja kembaliannya," ujarku seraya memberikan dua lembar uang 20 ribuan. "Oh, makasih neng, selamat istirahat ya neng, sepertinya neng butuh itu," ujar si bapak supir sambil menutup pintu seraya tersenyum padaku. "Iya, terima kasih banyak ya pak," kataku seraya membuka pintu Apartemen Seguni-ku.
Akhirnya sampai juga di 1604. Kubuka pintu. Ingin segera kurebahkan tubuhku. Namun kuputuskan untuk mandi dulu. Handuk sudah di bahu. Panaskan air dulu. Beberapa menit kemudian sudah kurebahkan tubuhku di bathtub cokelat tua kamar mandiku. SEGAAAAARR! Ranjang empuk sudah menari-nari di otakku. Tak lama-lama aku menyegarkan diri, segera kusudahi acara mandi ini. All single ladies, all single ladies...... Nyanyian Beyonce mendandakan ada panggilan untukku. Wah, pemredku.
"Halo?" "Prada, kamu sudah sampai?" "Oh, sudah bu, ada apa ya?" "Ini, besok mendadak ada event di Solo, ada seminar tentang kanker serviks di sana, si Kina mendadak ga bisa, dia barusan sms saya. Kamu bisa liput ya? Saya sudah pesankan tiket ke Solo untuk jam 9 besok pagi, langsung ke bandara aja, ada si Toto di sana yang ngasih tiketnya. Jangan lupa kamera. Kamu liputan sendiri kali ini, oke?" Penjelasan panjang lebar sang Pemimpin Redaksi, Diandra Pandania, untuk liputan mendadak besok pagi menjadi penutup ruwet hariku ini. Maklum wartawan, jam kerjanya tidak pasti. Selalu ada dadakannya.
Belum sempat kurebahkan tubuh ini, kusempatkan packing dulu buat besok. Bawa seadanya saja, pikirku. Baju, celana, pakaian dalam, peralatan mandi, make up. Lengkap. Sudah. Ah! Kamera! Aku baru ingat, kameraku masih ada menginap manis di tempat reparasi. Sial! Pinjem siapa udah malem gini? Oh! Jeko! Aku baru ingat, pinjam ke dia saja! Segera kuberalih ke pintu menuju kamar 1602 itu. Tok. Tok. Tok. Jeko masih belum membukakan pintu, kulirik jam di handphoneku, jam 12, masa sih udah tidur? Trrriiitt. Kuputuskan memencet bel yang bunyinya agak aneh itu. Masih belum ada jawaban.
Ah, ke siapa lagi ya? Jreng Jreng Jreng. Gitar si hippies kamar 1600 memberikanku ide. Pinjam ke dia saja! Barangkali punya. Meskipun pintunya terbuka begitu saja, aku memutuskan tetap mengetuknya. Ini soal etika. Dan segera kumenemukan sosoknya.
"Boleh masuk?" "Oh, masuk-masuk," ujarnya serasa menyelipkan rambut ke kupingnya. Rambutnya panjang terurai. Lebih panjang dari rambut saya. "Tumben masih di sini jam segini? Ga keluar?" "Oooh, engga. Lagi pengen aja malem ini di sini, sambil nyetem gitar ga bener-bener." "Ohhh...Eh iya, kamu ada kamera? Punya saya masih di tukang reparasi, tapi besok ada liputan dadakan ke Solo," ujarku langsung ke tujuan. "Oooh, kamera. Ada, ada. Sebentar ya." Ia pun menaruh gitarnya dan beralih ke lemari di sudut ruangan ini, mengambil kamera. Untunglah dia punya! "Nih, pake aja, saya lagi ga pake kok," ujarnya seraya mengambil gitarnya lagi. "Oh, iya. Boleh pinjam ya? Nanti pulang dari sana saya langsung balikin." "Sip" Pembicaraan dengan orang ini memang singkat. Selalu singkat. Mungkin memang dia tidak banyak bicara.
Dan saya pun keluar dari ruangan itu dan kembali ke kamar. Kamera sudah dapat, perlengkapan lengkap. Saatnya tidur. Solo untuk esok hari.
Prada Prameshwari
plot/ seri 01/ eps.002: SHERRY/ post: #002. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/009-1602.html
plot/ seri 01/ eps.002: SHERRY/ post: #002. prev post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/009-1602.html
No comments:
Post a Comment