“Jat jat jat jat jat..Jangan sok suci..!!
Jangan jadi arogan…
Engkau bukanlah Tuhan…!!”
“Asuuhuhuhuu..!!” teriak saya di tengah trotoar perempatan yang remang mengakhiri lagu bonafit The Flowers-Kau Bukan Tuhan. Tak peduli suara saya tidak seserak Njet atau Kaka yang angin tenggorokannya tercipta dari lusinan tembakau panas dan alkohol.
Lain kali saya ajak si Beng duet mungkin lebih seru. Sudah saya rencanakan lagu ini untuk menutup waktu kerja saya. Mungkin pemicunya obrolan para pelacur dan bencong sedari kemarin yang khawatir tentang kumpulan orang rusuh berbaju putih. “apa asiknya sih agama dapet dari orang tua? Bisa-bisanya bangga,” celoteh saya tak peduli tapi kepikiran sambil menggulung kabel dan mengangkat ampli.
“Brak!!” Ricardo tiba-tiba terjatuh dari genggaman saya karena licinnya kulit. Seperti malam-malam lainnya, saya bersimbah keringat. Fuuh.. dan malam ataupun dini hari ini semakin merepotkan karena seorang penggemar menghadiahi manequin berbaju putih rombeng dengan bercak merah dimana-mana. Ada-ada saja.
“Heah! Hap!!” akhirnya manequin berhasil saya gendong di punggung menggantikan tempat Ricardo yang sekarang menggelantung menghuyung di depan perut saya.
“Hai apa kabar? Nama kamu siapa?” tanyaku pada manequin sembari berjalan menuju pulang. “eh Ricardo kira-kira nama manequin ini siapa ya?” tanyaku pada Ricardo. Baik manequin maupun gitar saya itu tak ada yang menyahut sepanjang perjalanan pulang.
“Ting..” pintu lift terbuka, saya pun masuk. “Ting..” pintu lift terbuka lagi. “asolatukhoiruminanaum..” adzan subuh berakhir. saya melangkah keluar lift dan berhenti sebentar dan berpikir sejenak. Saya baru sadar kenapa manequin ini dengkulnya bersendi sehingga bisa saya gendong di punggung. Malas berpikir saya berbelok kiri langsung menuju kamar.
Melewati kamar Beng yang selalu saya curigai intel dan si Jeko Rasuna sang singkong casanova yang tiap malam bersimbah keringat seperti saya. Melirik pintu Ziantine si wanita bunting 1601 dan langsung masuk ke kamar. “srekkk..” Pintu tergeser dan sudah tertutup rapat.
Percaya atau tidak sebenarnya saya belum tahu apalagi kenal dengan tetangga-tetangga apartemen saya. Semua nama dan informasi tentang mereka saya dapat dari hasil bersayuracehria sebelum tidur, atau kadang-kadang ber-LSD. Ketika berenang dalam ilusi, si calon janin Ziantine (yang saya beri nama CJ atau calon janin) selalu mendatangi saya untuk mengobrol dan memberikan semua informasi itu, subhanallah.
“Hoammh..” rasa kantuk yang hebat datang lagi. Satu persatu mulai dari manequin hingga ampli saya turunkan dari badan saya. Saya melangkah menuju cermin sembari membuka baju. “ehehe..” saya tertawa tak sengaja menatap badan cungkring dan perut sixpack saya. Mengingat kotak-kotak perutnya selalu berpindah-pindah seperti rubiks ketika saya teler dan berkaca.
Selesai tertawa saya mulai berkreasi sedikit dan “kress...” satu linting sudah tersulut. Saya menoleh kebelakang menatap bingung manequin yang mengangkang. “saya apakan ini barang y?” celetuk saya sambil menghembuskan kepulan asap. Baru saja ingin melanjutkan hisapan surga selanjutnya tiba-tiba ada yang menyahut.
“heh Kolabton..coba kau cari saja tombol ON di manequin itu, siapa tau dia bisa terbang.”
Sekejap saja saya langsung melirik ke ranjang gantung saya, tempat suara itu berasal. Pantas suaranya terdengar akrab, si calon janin Ziantine sudah datang rupanya.
“ide bagus sebelum saya ketiduran ahahaha… kemarilah CJ ! berdua pasti lebih cepat ketemu!” ujar saya semangat kepada CJ. Cengkramaan saya dan CJ berlanjut hingga saya ketiduran di kamar warisan kakek saya yang kedap cahaya dan adzan itu. Kadang si gitar Ricardo juga mengiringi kami berdua.
Kolabton Nawalem
plot/ seri 01/ eps.002: SHERRY/ post: #002. prev post: -
No comments:
Post a Comment