Lantai 16

7/8/10

#008: 1602

in this post: Sherry, Kolabton Nawalem

hidupku tidak pernah biasa-biasa saja, kadang bisa begitu membosankan, tapi tiba-tiba juga bisa penuh dengan kejutan. dingin pagi menyayat tubuhku, sesuai dengan mimpiku tengah mendaki Himalaya hanya bercelana dalam. setengah sadar aku meraba-raba tubuhku yang tak berbusana, sambil setengah bertanya, “pakaianku tersangkut mimpi pukul berapa?”

aku mencoba mengingat-ingat, apakah sebelumnya aku pernah tidur tanpa busana? jika ya, karena alasan apa? tapi seingatku tidak, itu seingat yang masih kemungkinan. tapi seingatku yang pasti, ingatanku bukan ingatan yang bisa diandalkan.

apalagi kalau dingin begini, selain bulu romaku berdiri dengan ridhonya, burungku suka tegang, menodong langit-langit kamar apartemen dari balik selimut begitu gagahnya. tapi, tunggu sebentar...seingatku, langit-langit kamarku tak seeksotis ini, “ya Tuhan, ampunilah manusia yang menguliti harimau demi langit-langit kamarnya!” aku tak ingat apa aku pernah sekeji itu, tapi seingatku yang pasti, ini bukan kamarku.

*
seiring dengan pulihnya kesadaranku, bisa kuhirup wangi yang biasa kucium dari kamar pojok apartemenku. sial, mungkin lagi-lagi aku salah masuk kamar. entah kenapa, setiap penghuni di lantai ini punya kebiasaan buruk untuk tidak mengunci kamar mereka masing-masing. bahkan kamar sebelahku milik seorang hippies yang tidak bisa lepas dari gitarnya, selalu ditinggalkan dalam keadaan terbuka, entah apa alasannya.

aku tak pernah mencium parfum wanita yang lebih indah daripada pagi ini, tentu bukan karena wanginya, tapi karena ketelanjangan bulatku ini di ranjangnya. ranjang motif zebra milik perempuan cantik yang berbaring di sampingku, yang sedang melamun khusyuk seperti melihat Tuhan di balik layar telepon genggamnya.

“pagi... emh, maaf, sepertinya aku salah kamar?” ujarku gugup di balik selimut besarnya sambil mencoba meraba daerah sekitar ranjang untuk mengambil sehelai dua helai pakaianku yang tercecer akibat, mungkin, ...percintaan tadi malam.

wanita itu tak tampak kaget, ia malah tersenyum begitu ramah, “terima kasih ya sudah mengantarkanku tadi malam.”

“tuh kan, berarti bukan saya yang salah masuk kamar!” ujarku memekik sebagai apresiasi keberhasilanku untuk mengurangi kebiasaan masuk kamar orang dan langsung tidur di ranjang saking kikuk dan lelahnya.

*

langsung saja ingatanku berputar ke delapan atau mungkin sepuluh jam yang lalu, kata-kata wanita itu menjadi kunci pintu memoriku. sedikit demi sedikit ingatanku memanggil kejadia tadi malam.

wanita ini berjalan sempoyongan di tangga lantai 6, hendak mendaki ke lantai 16. kutanya alasannya kenapa tak menggunakan lift saja “kalau sedang mabuk, naik lift seperti hendak meluncur ke bulan,” jawabnya. wanita ini benar-benar mabuk, pikirku.

kubopong saja ia ke kamarnya, semoga aku tak salah ingat rupanya, ada tetangga satu lantaiku yang mirip dengannya, wangi parfumnya pun aku hafal, yang masih menguar hingga keesokan paginya aku terjaga di ranjangnya.

saat mabuk, wanita ini termasuk orang yang banyak bertanya, “kamu sendiri kenapa gak pake lift?” kujawab saja iseng, “Aldrin dan Amstrong juga kuliahnya naek tangga dulu kali, baru bisa ke bulan.” matanya menguncup layu ketika ia tertawa. “mabuk kamu!” ujarnya.

sudah kukatakan sebelumnya kan kalau hidupku penuh kejutan. seperti saat aku membaringkan tubuh wanita ini di ranjang motif zebranya, tiba-tiba ia merangkul punggungku dengan kedua tangannya. dengan sisa tenaga yang dimilikinya ia menjatuhkanku ke ranjang untuk salah satu persenggamaan terbaik yang pernah kualami. aku ingat sampai detil percintaan yang menakjubkan ini. aku sampai hafal cara dia melenguh, aku sampai kenal sentuhan tangan mana yang meraba dan menjamah seluruh bagian tubuhku, aku peka kapan harus memuncaki peraduan ini dan membiarkan punggungku menjadi landasan kuku-kuk tajamnya untuk mencengkram kenikmatan. tapi, tunggu sebentar...

aku mengusap-usap burungku yang mengeras dengan tangan kananku, kucium baunya di sela bagian yang kupakai untuk mengusap. sontak ku membuang muka sambil mengeluarkan ekspresi campur aduk antara heran, jijik, eneg, dan menyesal. menoleh pada wanita tersebut dengan jari merunduk di sekitar hidung, mimikku seolah bertanya, “kok burungku bau anus ya?”

wanita itu tertawa dan menjawab, “ya tentu saja, kan tadi malam kita anal.”

Rasuna Adikara
plot/ seri 01/ eps.001: INTRODUKSI/ post: #001. previous post: http://appartemant16.blogspot.com/2010/07/004-1605.html

2 comments: