Aku masih belum bisa tidur. Sunyi sekali di kamar 1603 apartemen Seguni ini. Bahkan bunyi kentut nyamuk bisa terdengar jelas. Err... Berlebihan juga sih. Pikiran usilku bertanya: setinggi apa nyamuk mampu terbang mencari darah? Kok lantai lima belas juga digarap ya?
Di sudut sana, kanvas masih tergurat tidak teratur. Gambar yang kuniatkan dipajang di pameran tunggalku belum mewujud. Maklumlah, modelku hanya fantasi dan fantasiku baru saja rusak karena, ya tahu sendirilah.
Aku merebahkan tubuhku di karpet, di depan televisi. Tapi aku tidak menyalakan televisi karena jam segini biasanya hanya ada kuis bodoh dengan perempuan berdandan lonte membawakan acara, yang seringkali mendesah genit atau cengangas-cengenges. Perempuan seperti itu tidak pernah membuatku bernafsu. Aku mengganjal kepalaku dengan kedua telapak tanganku. Menatap langit-langit. Melamun.
Tidak berapa lama, setelah aku konsentrasi, sayup-sayup beberapa jenis suara berkelindan dari luar kamarku. Ada dentuman musik elektronik yang turut menggetarkan kamarku. Langit-langit kamar seakan bergetar saking kencangnya beat musik itu. Mungkin si pemutar musik sedang ingin berjoget di minggu pagi (ini masih jam 1 pagi). Mungkin dia (atau mereka ya?) ingin menghalau jauh penat dengan cara itu. Tiap orang memang mesti kreatif untuk menghibur diri. Tidak masalah.
Selain itu terdengar juga alunan merdu musik klasik. Seseorang memutar lagu "Canon Pachelbel from D Minor". Aneh juga sih memecah konsentrasi mendengarkan dua jenis musik yang berbeda begini. Satu berusaha membuang rindu, satu lagi memaksa aku menjemput kenangan. Dan, lagu Ini adalah lagu kesukaan Yuri.
"Ah, tidak! Yuri lagi, Yuri lagi," keluhku sambil berguling-guling dan menutup mata yang rada pusing. Namamu sok Rusia, Yuri. Padahal nama belakangmu umum: Fania. Yuri Fania. Bapakmu Bayu, ibumu Rina. Sok keren banget sih ortumu. Yah aku mulai sewot lagi deh. Sudah gak bener kalo begini.
Aku bergegas bangun dan berjalan ke balkonku yang dipenuhi bonsai. Di luar temaram lampu kota saling menyapa membentuk pelangi artifisial. Ini lebih menggoda ketimbang ngedumel gak jelas. Aku mengambil kamera sekalian teropongku. Mode bulb kupasang selama 2 menit. Sambil menunggu lukisan digital terbentuk, aku meneropong ke bawah. Seorang perempuan cantik dalam balutan gaun merah berjalan menuju apartemen.
Teropongku terjatuh. Perempuan itu mirip Yuri...
Langa Beng Otanga
plot/ seri 01/ eps.001: INTRODUKSI/ post: #002. tagged by: -
Di sudut sana, kanvas masih tergurat tidak teratur. Gambar yang kuniatkan dipajang di pameran tunggalku belum mewujud. Maklumlah, modelku hanya fantasi dan fantasiku baru saja rusak karena, ya tahu sendirilah.
Aku merebahkan tubuhku di karpet, di depan televisi. Tapi aku tidak menyalakan televisi karena jam segini biasanya hanya ada kuis bodoh dengan perempuan berdandan lonte membawakan acara, yang seringkali mendesah genit atau cengangas-cengenges. Perempuan seperti itu tidak pernah membuatku bernafsu. Aku mengganjal kepalaku dengan kedua telapak tanganku. Menatap langit-langit. Melamun.
Tidak berapa lama, setelah aku konsentrasi, sayup-sayup beberapa jenis suara berkelindan dari luar kamarku. Ada dentuman musik elektronik yang turut menggetarkan kamarku. Langit-langit kamar seakan bergetar saking kencangnya beat musik itu. Mungkin si pemutar musik sedang ingin berjoget di minggu pagi (ini masih jam 1 pagi). Mungkin dia (atau mereka ya?) ingin menghalau jauh penat dengan cara itu. Tiap orang memang mesti kreatif untuk menghibur diri. Tidak masalah.
Selain itu terdengar juga alunan merdu musik klasik. Seseorang memutar lagu "Canon Pachelbel from D Minor". Aneh juga sih memecah konsentrasi mendengarkan dua jenis musik yang berbeda begini. Satu berusaha membuang rindu, satu lagi memaksa aku menjemput kenangan. Dan, lagu Ini adalah lagu kesukaan Yuri.
"Ah, tidak! Yuri lagi, Yuri lagi," keluhku sambil berguling-guling dan menutup mata yang rada pusing. Namamu sok Rusia, Yuri. Padahal nama belakangmu umum: Fania. Yuri Fania. Bapakmu Bayu, ibumu Rina. Sok keren banget sih ortumu. Yah aku mulai sewot lagi deh. Sudah gak bener kalo begini.
Aku bergegas bangun dan berjalan ke balkonku yang dipenuhi bonsai. Di luar temaram lampu kota saling menyapa membentuk pelangi artifisial. Ini lebih menggoda ketimbang ngedumel gak jelas. Aku mengambil kamera sekalian teropongku. Mode bulb kupasang selama 2 menit. Sambil menunggu lukisan digital terbentuk, aku meneropong ke bawah. Seorang perempuan cantik dalam balutan gaun merah berjalan menuju apartemen.
Teropongku terjatuh. Perempuan itu mirip Yuri...
Langa Beng Otanga
plot/ seri 01/ eps.001: INTRODUKSI/ post: #002. tagged by: -
No comments:
Post a Comment