"Uhuk! Uhuk! Aahhkkk!! Uuuhuukk uuhhuuukk!!"
Ah.. Lagi-lagi aku terbatuk-batuk. Aku memang keras kepala. Dokter bilang aku bronkitis, tapi tetap saja asap tembakau ini nikmat kuhirup. Tanpa filter pula. Bukankah yang tanpa filter selalu nikmat. Tinggal tancap! Hahaha... Lagipula ini cuma asap. Tidak padat dan seharusnya membelaiku dengan hangat di tengah malam yang dingin di apartemen ini.
Jujur, aku penat. Entah apa yang membuatku buntu dalam berkarya. Lukisan ini tidak jadi-jadi. Padahal cita-citaku menjadi pelukis tenar. Bercita rasa tinggi dan seksi. Mengapa fantasiku mati? Aku iri dengan Leonardo Dicaprio yang dengan asiknya menggurat kuasnya di kanvas, dengan Kate Winslet yang teronggok bugil di depannya, bersama tatapan mautnya. Tatapan yang mengingatkanku kepada Yuri. Dia yang entah dimana sekarang.
Mungkin aku buntu karena masih mencari jejak Yuri dalam kelam.
Yuri tidak mau mengikuti jalan hidupku yang menurutnya serampangan. Serabutan. "Unbestimmter!", teriaknya padaku. Itu kata dalam bahasa Jerman yang artinya "tidak jelas". Seni selalu mencari bentuk dan aku berharap menjadi bagian dalam proses itu, jelasku padanya. Dia menatapku lirih. Perlahan rautnya mengendur. Dia menangis dan pergi. Hujan waktu itu. Seperti di drama-drama televisi. Aku, entah kenapa, tidak mengejarnya. Racun. Bodoh!
"AAAAARRRGGGHHH!!" teriakku di tengah malam saat mengingat perpisahan itu. Para tetangga apartemenku mungkin dengar. Mungkin mereka marah karena terganggu saat sedang bercinta dengan pasangannya atau apalah. Terserah. Sesekali aku ingin berteriak. Aku juga manusia yang bisa resah dan marah.
Biasanya saat buntu begini aku akan membuka kulkas dan mengambil sebotol bir. Tapi aku tak semangat. Ingin sekali aku keluar dan menggedor pintu para tetangga dan mengajak mereka main kartu atau apalah. Namun kuingat, aku tidak pernah betul-betul bicara dengan mereka. Hanya kakek tua di apartemen ini yang biasa kusapa dengan senyum seadanya. Wajah bijaknya cukup meneduhkan. Dia pun tidak pernah bicara. Sedangkan si penjaga lobby, kerjanya hanya sms-an dan cekakak-cekikik di telepon. Tidak enak untuk diajak bercengkrama. Aku berani memastikan itu.
Daripada pusing, lebih baik aku onani. Lumayan kan buat ganti cat kuas. Biar lebih nyeni. "HAHAHAHAHAHAHAHA"
Langa Beng Otanga
plot/ seri 01/ eps.001: INTRODUKSI/ post: #001. tagged by: -
Ah.. Lagi-lagi aku terbatuk-batuk. Aku memang keras kepala. Dokter bilang aku bronkitis, tapi tetap saja asap tembakau ini nikmat kuhirup. Tanpa filter pula. Bukankah yang tanpa filter selalu nikmat. Tinggal tancap! Hahaha... Lagipula ini cuma asap. Tidak padat dan seharusnya membelaiku dengan hangat di tengah malam yang dingin di apartemen ini.
Jujur, aku penat. Entah apa yang membuatku buntu dalam berkarya. Lukisan ini tidak jadi-jadi. Padahal cita-citaku menjadi pelukis tenar. Bercita rasa tinggi dan seksi. Mengapa fantasiku mati? Aku iri dengan Leonardo Dicaprio yang dengan asiknya menggurat kuasnya di kanvas, dengan Kate Winslet yang teronggok bugil di depannya, bersama tatapan mautnya. Tatapan yang mengingatkanku kepada Yuri. Dia yang entah dimana sekarang.
Mungkin aku buntu karena masih mencari jejak Yuri dalam kelam.
Yuri tidak mau mengikuti jalan hidupku yang menurutnya serampangan. Serabutan. "Unbestimmter!", teriaknya padaku. Itu kata dalam bahasa Jerman yang artinya "tidak jelas". Seni selalu mencari bentuk dan aku berharap menjadi bagian dalam proses itu, jelasku padanya. Dia menatapku lirih. Perlahan rautnya mengendur. Dia menangis dan pergi. Hujan waktu itu. Seperti di drama-drama televisi. Aku, entah kenapa, tidak mengejarnya. Racun. Bodoh!
"AAAAARRRGGGHHH!!" teriakku di tengah malam saat mengingat perpisahan itu. Para tetangga apartemenku mungkin dengar. Mungkin mereka marah karena terganggu saat sedang bercinta dengan pasangannya atau apalah. Terserah. Sesekali aku ingin berteriak. Aku juga manusia yang bisa resah dan marah.
Biasanya saat buntu begini aku akan membuka kulkas dan mengambil sebotol bir. Tapi aku tak semangat. Ingin sekali aku keluar dan menggedor pintu para tetangga dan mengajak mereka main kartu atau apalah. Namun kuingat, aku tidak pernah betul-betul bicara dengan mereka. Hanya kakek tua di apartemen ini yang biasa kusapa dengan senyum seadanya. Wajah bijaknya cukup meneduhkan. Dia pun tidak pernah bicara. Sedangkan si penjaga lobby, kerjanya hanya sms-an dan cekakak-cekikik di telepon. Tidak enak untuk diajak bercengkrama. Aku berani memastikan itu.
Daripada pusing, lebih baik aku onani. Lumayan kan buat ganti cat kuas. Biar lebih nyeni. "HAHAHAHAHAHAHAHA"
Langa Beng Otanga
plot/ seri 01/ eps.001: INTRODUKSI/ post: #001. tagged by: -
No comments:
Post a Comment